Sudah sepuluh tahun aku bekerja di suatu perusahaan swasta. Diawali
dengan membaca iklan yang dimuat oleh perusahaan tersebut, keesokan
harinya aku datang membawa berkas yang dibutuhkan dan memasukkan lamaran
lewat Sekretaris Eksekutif Direktur Utama, Ibu Ina namanya. Orangnya
cantik, langsing dan menarik. Setelah melalui seleksi yang cukup ketat,
akhirnya aku diterima bekerja. Aku sangat senang dan bekerja dengan
giat.
Berkat kerja keras, pimpinan memberikanku kesempatan meningkatkan
keterampilan dengan sekolah lagi di luar kota, sehingga akhirnya aku
memperoleh jabatan yang semakin tinggi. Ibu Ina yang dulunya jauh
kedudukannya di atasku, menjadi semakin dekat, sehingga kami sering
bertemu. Setelah duduk di jajaran eksekutif, barulah aku tahu bahwa ia
sudah bersuami dan mempunyai dua orang anak yang sudah duduk di bangku
SLTA dan SLTP. Padahal sejak kulihat pertama kali, aku sudah naksir dia,
sayang ia sudah menikah. Ibu Ina yang kulihat sepuluh tahun lalu, belum
banyak berubah, meskipun sudah berusia 40 tahun. Aku sendiri berusia 5
tahun di bawahnya. Keterampilan dan penampilannya selalu mempesona,
sehingga posisinya semakin menanjak, bahkan setelah menyelesaikan
pascasarjana strata dua ia diangkat sebagai Manager pada bidang quality
control. Meskipun setahun yang lalu aku menikahi Waty, seorang gadis
manis dari Klaten, aku tetap menjadi pengagum diam-diam Ibu Ina. Tak
seorang pun di kantor yang mengetahui betapa aku begitu memujanya.
Suatu ketika Direktur Utama memanggilku, “Saudara Agus saya tugaskan
mengikuti pertemuan dengan beberapa rekanan di Yogya selama 3 hari.” Aku
sempat kesal waktu dipanggil menerima tugas tersebut, karena ada ulah
bawahan di bagianku yang membuatku uring-uringan dan harus kubereskan
dalam waktu 5 hari. Aku sempat menolak halus, “… tapi maaf Pak, bukankah
saya harus membereskan masalah di bagian saya?” Sang Direktur berkata,
“Tentang hal itu tidak perlu saudara risaukan, saya sudah menugaskan
orang lain untuk menyelesaikannya.” Lalu ditambahkannya, “Oh ya, saudara
saya minta membantu sepenuhnya Ibu Ina, salah seorang manager kita
untuk mempresentasikan di depan rekanan tentang manajemen mutu
perusahaan kita. Pertemuan ini sangat penting dalam rangka menjalin
kerja sama ke depan. Saudara saya minta bersungguh-sungguh dalam tugas
ini. Saya mempercayakan saudara mendampingi Ibu Ina mengingat kemampuan
saudara yang telah saya lihat selama ini.” Ups, aku terhenyak kaget,
bukan hanya karena kepercayaan yang diberikan kepada saya, tetapi karena
seakan mendapatkan durian runtuh. “Pucuk dicinta ulam tiba,” pikirku,
“Tiga hari bersama si Cantik Bu Ina tentunya akan sangat menyenangkan.”
Rasanya tidak sabaran menunggu saat keberangkatan.
Sehari sebelum keberangkatan ke Yogya, Ibu Ina memanggilku dan mengatakan,
“Dik Agus, aku agak deg-degan naik pesawat akhir-akhir ini, sehingga
meskipun seharusnya kita naik pesawat, aku telah memesan dua tiket
kereta api eksekutif malam untuk kita. Tetapi lumpsum kita tidak
dikurangi selama berada di sana. Harap Dik Agus maklum dan tidak
keberatan atas keputusanku,” nada suaranya terkesan galak dan tegas.
Kujawab dengan spontan, “Tak apa-apa, Bu, demi menemani Ibu Ina, saya bersedia jalan kaki sekalipun.”
Ia tersenyum kecil sambil mencubit lenganku. Wah, terkejut hatiku karena
tidak menduga mendapat perlakuan demikian. Ah, berjuta rasanya.
Kuelus-elus lenganku menikmati bekas cubitannya. Ia hanya memandangku
dengan tatapan yang tak kumengerti.
Saat berangkat dari Stasiun Gambir, aku duduk di sebelah kanan Bu Ina.
Kami ngobrol begitu akrab, seakan-akan dua sahabat lama yang bertemu
kembali. Wangi parfumnya begitu menggodaku, apalagi rambutnya yang
sebahu tergerai lepas dan anak rambutnya sesekali mengenai keningku
dikala kami berbincang-bincang.
Menjelang tengah malam, Bu Ina minta ijin tidur duluan. Memang
sebelumnya kulihat ia sudah menguap tanda mengantuk. Aku masih membaca
majalah sambil sesekali melirik wajahnya yang cantik. “Ah, betapa lembut
wajahnya, andaikan aku dapat mengelusnya,” batinku. Lamunanku semakin
melambung manakala tubuhnya semakin rapat ke tubuhku dan kepalanya rebah
di pundak kiriku. Tak enak mengganggu tidurnya, kubiarkan saja
kepalanya bersentuhan dengan kepalaku, bahkan beberapa kali kudekatkan
hidungku menghirup wangi rambutnya. Tak tahan dengan situasi itu, tangan
kiriku kuletakkan ke pundak kirinya, merangkul tubuhnya. Kurasakan
pipinya bersentuhan dengan pipiku. Ah, betapa halusnya. Tapi aku tak
berani berbuat lebih jauh. Tak lama kemudian aku tertidur dalam posisi
memeluk pundaknya.
Tiba di Yogya, aku duluan bangun dan kuperbaiki letak dudukku agar ia
tidak malu jika mengetahui kupeluk pundaknya semalaman. Kami pun naik
taksi menuju hotel tempat pertemuan kami yang dimulai hari itu.
Setelah dua hari lamanya berada di Yogya, pertemuan kami berakhir sehari
lebih cepat dari yang dijadwalkan. Bu Ina berbisik padaku usai makan
siang,
“Dik Agus, tidak ada rencana mau kemana siang ini? Kalau tidak mengganggu, habis makan siang ini, tolong temani aku belanja ya?”
“Baik Bu, ke manapun Ibu minta, akan saya antar,” jawabku sambil memperhatikan wajahnya.
Siang itu kami berdua berjalan sepanjang Jalan Malioboro. Usai belanja,
Ibu Ina mengajakku naik delman menuju hotel tempat kami menginap. Kami
masuk ke kamar masing-masing. Letih juga berjalan menemani Bu Ina
berbelanja. Aku berpikir ingin memanjakan diri sambil membersihkan
tubuh, kemudian aku bertelanjang menuju kamar mandi dan berendam di
bathtub. Rasanya belum lama berendam, telepon di kamar berdering
kudengar berdering. “Sial, siapa yang ganggu orang sedang santai gini?”
gerutuku. Kutarik handuk dan mengeringkan tanganku, lalu dengan
bertelanjang, aku keluar kamar mandi dan mengangkat gagang telepon.
“Sedang ngapain, Dik?” kudengar suara lembut di seberang sana, “Ah, ternyata Ibu Ina,” pikirku.
“Sedang mandi, Bu, habis gerah banget abis jalan-jalan tadi,” jawabku.
“Waduh, maaf ya, jadi ganggu kegiatan Dik Agus,” sesalnya, “Kalau gitu, teruskan aja mandinya.”
Khawatir ia butuh bantuanku, dengan cepat kubantah, “Tidak apa-apa, Bu. Sudah selesai koq. Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
“Gini lho Dik, tapi maaf lho, terus-terusan aku minta bantuanmu.
Sekarang kan sudah pukul enam, tadi petugas hotel memberitahuku ada film
bagus di bioskop yang dekat hotel ini. Aku ingat waktu kuliah dulu di
Bulaksumur suka nonton di situ. Bagaimana kalau tak ada acara, Dik Agus
temani Mbak nonton? Tapi makan malam dulu deh!” Aku terkejut campur
senang mendengar ajakannya, tetapi lebih kaget lagi waktu mendengarnya
mengganti sebutan dirinya dengan Mbak. “Ah, ada apa nih?” pikirku
penasaran.
“Wah, dengan senang hati, Bu. Bila perlu kita makan di luar aja, supaya
tidak telat nontonnya,” timpalku dengan hati berbunga-bunga.
“Jangan panggil Ibu terus dong, kita kan sedang tidak di kantor. Panggil
Mbak gitu, apalagi Mbak belum setua ibumu, bukan?” katanya di seberang
sana.
“Maaf, Bu … eh .. Bu … eh .. iya Mbak Ina,” kataku terbata-bata.
“Nah, kan? Masih latah sebut Ibu terus?” guraunya lagi. Kemudian
sambungnya, “Kita makan aja dulu, baru nonton. Mbak tunggu di ruang
makan hotel tiga puluh menit lagi ya?” serunya tanpa menunggu jawabanku
dan memutuskan pembicaraan.
Waktu makan malam, aku begitu terpesona melihat penampilan Mbak Ina
(sekarang kuganti panggilannya sesuai permintaannya tadi). Ia mengenakan
celana jeans dan kaos, sebab ia tampil seperti anak muda usia belasan
tahun. Apalagi warna lipstick tipis merah muda yang menghiasi bibir
mungilnya. Kami makan berdua sambil berbincang-bincang tentang berbagai
hal.
Setelah makan, kami menuju bioskop yang dimaksud Mbak Ina. Ternyata film
yang akan kami saksikan telah berjalan setengah jam dan pintu theatre
sudah ditutup. Ada film di dua theatre lain, tetapi karena tidak
tertarik, Mbak Ine tidak mau. Sewaktu melihat jadwal tayang, kami
melihat bahwa film yang akan kami tonton masih akan diputar pukul 23.
“Bagaimana jika kita nonton tengah malam Dik? Tokh kita masih nginap
semalam lagi dan besok sore baru kembali ke Jakarta?” tukas Mbak Ina.
“Saya sih tidak keberatan, Mbak, asal Mbak tidak takut tidur kemalaman ntar,” kataku.
“Ah, sekali-sekali tidur larut malam tak apa, kan? Apalagi sayang jika
tadi kita langsung pulang, padahal hotel ini sudah dibayar mahal sampai
besok sore,” timpalnya sambil menarik tanganku. “Kita jalan-jalan dulu
deh nunggu pukul sebelas,” tambahnya. Kami pun keluar areal bioskop
setelah memesan tiket untuk pertunjukan film pukul 23.
Kami berjalan-jalan dan menikmati roti bakar dan wedang jahe di pinggir
jalan. “Ah, ternyata enak juga jalan bareng Mbak Ina, bisa merakyat
begini, tidak hanya makan di restoran mahal,” pikirku.
“Heh, ngapain, siang-siang sudah ngelamun jorok,” tiba-tiba Mbak Ina
mengagetkan aku sambil mencubit pipiku. Aku tersipu-sipu malu dan
menjawab,
“Nggak ngelamun koq, Mbak, cuma heran aja, koq kita bisa begini akrab ya, padahal di Jakarta tidak sempat seperti ini?”
“Ah kamu … emang nyesel jalan bareng Mbak?” tanyanya merajuk. Eh, dia
mulai mengganti panggilan Dik dengan kamu. Aku agak heran, tapi kupikir
mungkin karena ia makin merasa amat dekat denganku.
“Siapa bilang nyesel, Mbak? Malah senang banget. Nggak pernah mimpi bisa berdua Mbak begini.”
Sepuluh menit menjelang pukul 23, kami sudah kembali ke bioskop. Kami
masuk dan nonton film romantis, tetapi berbau horor. Waktu menonton
adegan yang menyeramkan, tangan Mbak Ina memegang pergelangan tanganku
dengan kencang.
Suatu ketika pegangannya begitu kuat, hingga aku terkejut dan berseru,
“Mbak, tanganku sakit tertusuk kuku Mbak!”
“Aduh, maaf, abis ngeri banget sih liat vampire-nya muncul tiba-tiba,” katanya tanpa melepaskan genggaman tangannya.
Namun saat ada adegan ranjang yang cukup hot, dimana pemain wanitanya
hanya tinggal mengenakan baju tipis dan buah dadanya nampak terbuka,
sedang berciuman dengan tokoh vampire di film tersebut, kurasakan
jari-jari Mbak Ina meremas-remas jari-jari tangan kiriku. Aku hampir tak
berani bergerak merasakan remasan tangannya dan napasku serasa terhenti
di leher. Hal itu terjadi beberapa kali. Aku tidak berusaha menepis,
karena kupikir itu reaksi alami karena adegan panas yang kami lihat,
bahkan aku berharap agar tangannya tidak pindah dari jari-jariku. Namun
aku tidak berani membalas remasannya, khawatir ia akan salah sangka.
Pukul 01 film pun berakhir. Kami naik becak menuju hotel. Mbak Ina
nampak masih tercekam oleh film tadi, sehingga ia banyak berdiam diri.
“Mbak udah ngantuk ya? Koq diam aja?” tanyaku sambil mencolek punggung tangannya.
“Hiiyy, serem juga film tadi. Untung ada kamu, kalau tidak, Mbak udah pingsan kali,” jawabnya.
“Ah, itu kan cuma film, Mbak. Ngapain dipikirin, ntar malah nggak bisa
tidur lho! Apalagi tidak ada teman di kamar Mbak,” kataku.
Ia diam saja, sehingga aku agak menyesal menggodanya dan memegang jari-jarinya,
“Maaf ya Mbak, saya tidak bermaksud menakut-nakuti Mbak. Maafkan kata-kata saya barusan.”
Mbak Ina membalas sentuhanku dengan meremas jari-jariku sambil berkata,
“Tak apa-apa. Kamu begitu baik temani sejak siang tadi dan nonton, walaupun film tadi mungkin bukan film yang kamu sukai.”
Kami turun dari becak dan menuju lantai lima di mana kamar kami berada
dan masuk ke kamar masing-masing. Aku masih merasakan aroma parfum yang
dipakai Mbak Ina melekat di pundak dan jari-jariku. Seperti kerasukan,
aku menciumi jari-jariku sendiri seolah-olah mencium jari-jari Mbak Ina.
Sewaktu mau merebahkan tubuh di ranjang, telepon berdering. “Ah, siapa
lagi telepon malam-malam?” pikirku, “Dik Agus, sudah tidur ya?” kudengar
suara Mbak Ina di seberang sana.
“Hampir tidur Mbak. Ada apa, Mbak?” tanyaku.
“Aa.. aku … takut, kebayang-bayang film tadi. Dik Agus tolong ke kamarku sebentar ya!” pintanya.
Dengan bercelana pendek dan kaos oblong, aku mengetuk pintu kamarnya.
Ketika pintu kamarnya terbuka, aku tercekat sebab melihat Mbak Ina
berdiri dengan baju tidur tipis berwarna putih sehingga memperlihatkan
lekuk-lekuk tubuhnya diterangi lampu kamar yang redup. Walaupun agak
temaram, aku dapat melihat jelas betapa seksinya tubuh Mbak Ina. Tanpa
sadar aku menelan ludah beberapa kali, apalagi melihat di balik baju
tidurnya ia mengenakan BH dan celana dalam warna merah hati.
“Ayo masuk, jangan bengong aja di situ!” ajaknya sambil menutup pintu di
belakangku. “Kalau tak keberatan, maukah kamu duduk sambil nonton TV
untuk menemani aku sampai aku tidur? Kalau aku sudah tertidur,
tinggalkan saja dan kembali ke kamarmu,” sambungnya.
“Boleh Mbak, malah saya sangat menyesal telah menakut-nakuti Mbak dengan
ucapan saya waktu di becak tadi, sehingga bermaksud menemani Mbak
sampai pagi,” kataku menanggapi.
“Benar nih, sampai pagi mau temani aku?” tagihnya.
Aku bingung juga dengan spontanitasku yang kusesali dapat membuatku
menjadi satpam semalaman ini, tetapi melihat diri Mbak Ina dalam
pakaiannya sekarang membuatku bersemangat, bila perlu seminggu lagi
menemani dia sekamar.
“Ok Mbak, aku siap mengawal Mbak, tak usah takut ada vampire,” jawabku menyombong.
Mbak Ina berbaring di ranjangnya yang berukuran king size, sedangkan aku
duduk di kursi yang ada di dekat TV sambil mencari channel yang
menyuguhkan film. Tetapi mataku mencuri-curi pandang ke arah tubuhnya
yang walaupun sebagian ditutupi selimut, bagian dadanya yang hanya
tertutup sepertiga BH-nya ternyata tidak tertutup selimut. Aku tidak
tahu, apakah ia sengaja melakukan itu atau tidak. Kuperhatikan
diam-diam, ia sudah memicingkan matanya.
Setengah jam kemudian kulihat ia sudah tertidur, terbukti dari suara
napasnya dan matanya yang terpejam rapat, kuamati dadanya yang membusung
indah naik turun dengan teratur sesuai helaan napasnya. Aku duduk
dengan gelisah, sebab laki-laki mana yang tahan sekamar dengan wanita
secantik Mbak Ina dalam baju tidur demikian? “Adik kecilku” yang sudah
bangun sejak masuk kamarnya terus menerus mengangguk-angguk, menggodaku
dengan bisikan liar, “Ayo, apa lagi yang kau tunggu, bukankah ini
peluang emas yang kau impikan selama ini? Kapan lagi ada kesempatan
begini dan ajakannya menemani adalah undangan untuk mereguk anggur
kenikmatan?”
Aku hampir tak berani beringsut dari dudukku, perlahan kugerakkan leher
menoleh ke arah Mbak Ina. Ia tidur dengan tenang. Namun tiba-tiba
kudengar ia berteriak, “Tidak, tidak, jangan … ahhh …” Aku terkejut dan
melompat dari dudukku. Kulihat Mbak Ina terduduk, matanya agak melotot,
ia terengah-engah, jari-jarinya meremas sprei ranjangnya, dan
kuperhatikan tetesan keringat di keningnya. Sedangkan selimutnya
berantakan tidak menutupi bagian dadanya, sehingga sebagian payudaranya
yang putih dapat kulihat dengan jelas, tetapi aku menghalau
pikiran-pikiran mesumku.
Aku duduk di ranjang, di dekatnya sambil memegang tangannya lembut,
bertanya, “Mimpi ya Mbak? Jangan takut, saya ada di dekat Mbak.”
Ia diam saja, tetapi tanpa kuduga, ia menarik tanganku dan tanpa dapat
kucegah sentakannya membuat tubuhku jatuh ke arahnya dan menimpa
tubuhnya. “Ma..ma..af, Mbak, saya … ” ucapanku tak selesai karena
tiba-tiba bibirku sudah ia tekan ke pipinya. Aku terkejut dengan muka
merah padam. Dan belum selesai keterkejutanku, ia menarik tubuhku masuk
ke balik selimutnya sambil berkata dengan memelas,
“Temani aku tidur, aku takut … Jangan jauh-jauh di sana! Peluk aku ya!”
Napasku seakan berhenti, jantungku berdebar-debar kencang, sebab kedua
bahuku telah ia peluk erat, hingga terasa kedua buah dadanya menekan
dadaku. “Aduhai, betapa kenyal payudara wanita ini,” batinku seraya
berharap pelukan itu takkan ia lepaskan. Jantungku semakin kencang
menghentak-hentak dadaku ketika sebelah kakinya naik memeluk paha dan
kakiku. Nafas Mbak Ina terasa begitu dekat di wajahku. Aku serasa
bermimpi dan tanpa sadar menutup mataku.
Seperti seorang bayi yang membutuhkan dekapan, Mbak Ina meletakkan
kepalanya di dadaku dan tanpa kusadari jari-jariku membelai-belai rambut
di keningnya sambil menenangkannya. Kulihat ia memejamkan mata sambil
memeluk tubuhku. Aku pun merasa begitu damai merengkuh pundaknya sambil
mengingat suasana sewaktu di kereta api bersamanya. Ada kemiripan,
tetapi kali ini lebih mesra, apalagi kami berdua sama-sama sedang
mengenakan pakaian tidur. Rasanya begitu teduh dan nyaman. Tangannya
semakin erat memeluk pinggangku dan kurasakan dagu dan hidungnya
ditekankan ke dadaku hingga kelelakianku kurasa bangkit. Aku tidak
berani berbuat macam-macam, walaupun hasratku sudah menggelegak. Tetapi
sewaktu bibirnya bergerak naik ke leher, hembusan napasnya kurasa
semakin dekat ke dagu dan pipiku, aku membuka mata dan menatap wajahnya.
Hatiku kaget bercampur senang sebab kulihat Mbak Ine dengan mata
terpejam semakin mendekatkan bibirnya ke bibirku. Secara naluriah aku
membuka mulut dan menyambut bibirnya. Aku tidak ingat lagi siapa di
antara kami yang memulai ciuman itu, dia atau aku, tapi aku tidak
peduli. Gairahku bergelora ketika lidahnya mengait lembut tepi bibirku
dan menyusuri rongga mulutku dan menggelitiki lidahku dengan lincahnya.
Dengan tangkas kusambut pilinan lidahnya dengan lidahku. Tangan kiriku
yang semula ada di atas bahunya yang terbuka, mulai naik ke arah dagu,
pipi dan merabai bibirnya. Mbak Ina mendesah, “Ahh… ahh… aku kangen
kamu, Gus… Peluk aku dan berikan kehangatan buatku!” pintanya.
Aku menggelinjang merasakan aksinya selanjutnya. Mbak Ina begitu buas
menciumi wajahku, leherku, turun ke dadaku, hingga aku sempat
terperangah kaget saat ia meremas putingku dan mengisapnya,
kadang-kadang lembut, dan di waktu lain begitu kuat menggemaskan. Kedua
puting dadaku dijilati dan dimasukkan ke mulutnya secara bergantian.
Lidahnya begitu lincah bermain di sekujur dadaku, turun ke perut dan
lidahnya menggelitiki pusarku hingga aku merasakan aliran darahku
memompa begitu kencang. Aku tak ingat lagi siapa dia dan bagaimana
posisinya di kantorku, yang terpikir hanyalah bagaimana memacu
kenikmatan bersamanya. Yang terbayang di benakku saat itu adalah
seakan-akan sedang memadu kasih dengan istriku sendiri. Sebelah tanganku
mengusap-usap perutnya yang datar, tidak terlihat gemuk meskipun sudah
melahirkan dua orang anak, sedangkan tanganku yang lain mengelus-elus
pundak, punggung dan pinggulnya hingga ia meliuk-liukkan tubuhnya dengan
sangat menggairahkan.
“Kamu mau ku-blow job, Agus sayang?” desahnya sambil melakukan “mandi kucing” pada perut, pinggang dan pusarku.
“Ahh … ssshhh, oohhh …. Mmm … mmau, Mmbaakkk… mau banget!” aku memohon
dengan sangat, karena begitu dahsyat ia memainkan lidah dan bibirnya
sambil tangannya mulai bergerak ke arah celanaku, menyentuh penisku dari
luar dan pelan-pelan menurunkan celana pendek dan celana dalamku secara
serempak. Aku sudah tak sadar dengan ucapanku, karena birahiku sudah
begitu dalam menguasai diriku. Tidak ada lagi Agus yang alim, yang
sopan, yang santun, yang selalu menghargai wanita. Bahkan aku tak
sendiri tidak ingat kapan ia membukai kaosku hingga kini aku benar-benar
bugil di hadapannya, sedangkan ia masih mengenakan baju tidurnya. Aku
benar-benar tak berkutik dibuatnya, bahkan sewaktu kucoba membuka kait
BH dan melolosi baju tidurnya, Mbak Ina dengan gesit menepis tanganku
dan sama sekali tidak memberi peluang bagiku. “Sebentar sayang,
giliranku memuaskanmu ….,” desahnya di sela-sela permainan bibir dan
lidahnya yang begitu memabukkan.
Aku merasa seperti terombang-ambing, apalagi waktu ia mencium, menjilat
dan mengisap kulit perut, pinggul dan pinggangku dengan gerakan lembut,
berganti dengan gigitan-gigitan kecil, lumatan kasar, bahkan
kadang-kadang kurasakan perih bercampur nikmat. Tangannya tak
ketinggalan mengelus, mencubit, dan meremas pahaku, lutut, betis juga
bagian-bagian atas tubuhku, tak ketinggalan putingku yang semakin merah
akibat cubitan-cubitan kecilnya yang membuatku terlonjak-lonjak.
Dalam memuncaknya gairahku, kulihat ia bergeser menempatkan tubuhnya
berlutut di antara kedua paha dan kakiku, kepalanya tepat di
selangkanganku. Ia mengusap-usap rambut di pangkal pahaku tanpa
menyentuh penisku sama sekali hingga aku semakin menggeliat-geliat
dibuatnya. Masih dengan kesibukannya memainkan bulu-bulu di sekitar
penisku, bibir dan lidahnya mulai merambat ke sela-sela pahaku. Lidahnya
menjilati pahaku dan “Ahh … Mmmbakkk,…. ohhhh …. en…nakkkk … nikmattt
sayanggg….” aku terpekik waktu lidahnya menjilati kedua testisku secara
bergantian, apalagi waktu keduanya dimasukkan ke dalam mulutnya dan
diisapnya seakan-akan sedang menikmati es krim. Aku merasa terbang
melayang.
Setelah itu, lidahnya naik menjilati penisku, mulai dari bawah naik ke
leher penis, pada bagian ini ia melakukan gerakan melingkar, hingga
lidahnya bergerak mengelilingi leher penisku, lalu ia mengarahkan
lidahnya ke lubang pipisku. “Ohh… Ougghh … enakh Mbaaakkk akkhhhh…” dan
semakin tersentak saat kedua bibirnya mengecup kepala penisku dan
menelannya hingga seluruh kepalanya tertelan oleh mulutnya. Dengan
gerakan lembut, Mbak Ina memasukkan dan mengeluarkan kepala penisku
dalam mulutnya. Aku merasa seakan-akan hampir tidak sadarkan diri,
karena nikmat sewaktu penisku dimasukkannya hingga pangkalnya dan terasa
ujungnya membentur daging lembut di tenggorokannya. Aku semakin
menggelinjang saat merasakan jari-jarinya mengelus lubang analku dan
kurasakan ada cairan yang ia oleskan di situ, aku hanya sempat melihat
sekilas ke arah bawah, ternyata sesekali Mbak Ina memasukkan jarinya ke
mulutnya dan menaruh ludahnya ke lubang analku. Entah mengapa dan
bagaimana ia melakukannya, aku tak mau bertanya saat itu, hanya sanggup
merintih dan berusaha menikmatinya sambil meremasi rambutnya yang
tergerai.
Pinggang dan pantatku kunaikkan karena geliatku ke kiri dan ke kanan
terasa sudah tidak memadai, dan jeritan nikmatku kembali memecah di
kamar hotel itu ketika jari tengah tangan kanannya perlahan-lahan
memasuki analku, sedikit demi sedikit dan akhirnya sampai seluruhnya
masuk ke analku. Kepalaku kugoyangkan ke kanan kiri dan kedua tanganku
menekan belakang kepala Mbak Ina ke arah pahaku, hingga seluruh batang
penisku masuk ke mulutnya. Belum pernah aku merasakan sensasi yang
begitu nikmat pada penis dan sekaligus analku.
“Mbak, aku nggak kuat, akkhu … mau … keluar … Lepaskan Mbak, akkhh …” jeritku.
“Hm, sshhh …. ahh … sabar sayang, nikmati ya say… biar kutelan cairanmu
sayang, … ahh… sss …. ekhhh…” desahnya dan kembali menelan penisku
sambil jarinya semakin dalam masuk ke analku, ia masukkan dan keluarkan
semakin cepat hingga aku semakin tinggi melayang-layang dalam alam
kenikmatan. Ia mengulum, menjilat dan merangsek habis-habis.
Entah karena pengaruh film yang kami saksikan tadi atau rangsangan
melihat Mbak Ina dalam baju tidurnya dan aksinya yang begitu hebat, aku
tak kuasa menahan cairan kenikmatanku.
“Ougghhh … akhhhh … Mbaaakkkk … Inaaahhhh …. akhhh nik..mat…,” jeritku
tatkala penisku dengan hebatnya menyemprotkan air mani ke dalam
mulutnya. Aku terkejut karena dengan ganasnya Mbak Ina menelan seluruh
penisku dan menelan cairanku, bahkan isapan bibirnya pada penisku begitu
kencangnya hingga aku tak mampu menarik penisku keluar. Tangannya turut
bekerja mengelus dan meremas kedua biji testisku. Kurasa tak setetes
pun air maniku tersisa. Ia begitu menikmati kuluman mulutnya pada
penisku dan kurasakan lidahnya terus bermain menggelitiki batang penis
dan lubang pipisku. Denyutan penisku lebih sepuluh kali di dalam
mulutnya.
Aku terengah-engah karena orgasme yang kualami. Dengan istriku sendiri
belum pernah kurasakan kenikmatan demikian, karena seluruh pori-pori
tubuhku seakan-akan turut merasakannya, bukan hanya penisku. Mbak Ina
kembali menciumi bibirku dan kurasakan beberapa tetes cairanku sewaktu
bibir dan lidah kami berpagutan.
Kupeluk dia sambil meredakan debur jantungku yang begitu kencang, aku bertanya padanya, “Mengapa …..?? Mengapa Mbak….?”
Kulihat ia memandangiku dengan lembut dan meletakkan telunjuknya di
bibirku, “Ssstt, dengarkan kisahku sayang!” Kutatap matanya, kulihat di
sana rasa sayang yang tulus. Ia melanjutkan, “Sejak kamu masuk ke
perusahaan kita, sudah kuperhatikan bagaimana cara kamu memandangku.
Walaupun tidak pernah kamu katakan, aku dapat membaca tatapan matamu.
Tapi aku sadar, Gus, bahwa aku sudah bersuami dan punya anak, tak
mungkin menikah denganmu. Dan aku sempat cemburu, waktu kamu menikah.
Kamu ingat bahwa aku tidak mau hadir pada pesta pernikahanmu? Itu karena
aku iri, istrimu mendapatkan pria sebaik kamu. Aku tidak berani
menggodamu di kantor kita, sebab aku sadar statusku sudah bersuami dan
teman-teman tahu bahwa aku bukan wanita penggoda. Apalagi kulihat kamu
begitu sopan dan tidak pernah kudengar sikapmu yang buruk terhadap
karyawati di perusahaan kita. Itu sebabnya mengapa waktu kita mendapat
tugas bersama, kuminta naik kereta api agar dapat bersentuhan denganmu
setidak-tidaknya beberapa jam. Kesempatan emas makin terbuka kurasa
karena kamu mau menemaniku berbelanja dan nonton.”
Tak kuasa berdiam diri, keluar pengakuanku, “Aku sudah lama mengagumi
dan menyayangimu Mbak, tapi aku menyesal, sebab Mbak sudah menikah waktu
kita bertemu. Aku juga tidak berani mengganggu Mbak, karena kudengar
dari teman-teman, Mbak adalah istri yang sangat setia pada suami.
Maafkan aku atas kejadian malam ini, Mb…”
“Husshh,” potongnya, “Kamu tidak perlu minta maaf, Gus, justru akulah
yang menggodamu sehingga malam ini kita jadi begini. Aku cuma bikin
alasan takut karena nonton film tadi dan minta kau temani supaya kita
dapat bermesraan sekarang. Paling tidak ini saat-saat bahagia kita
berdua. Kalau di Jakarta, tidak mungkin kita bisa melakukan hal ini.”
Aku terdiam menyimak kata-katanya dan kembali gairahku bangkit manakala
jari-jarinya bermain di dada dan perutku. “Ah, Mbak … aku .. sayang kamu
…,” bisikku perlahan di telinganya. “Sekarang giliranku memuaskanmu, ya
Mbak sayang?” sambungku.
Ia tidak menjawab, hanya mengangguk sambil memejamkan mata.
Aku dalam keadaan masih telanjang menciumi rambutnya, keningnya, kedua
kelopak matanya dan hidungnya. Pipinya tak luput dari kecupanku dan
kembali bibir kami bertemu serta lidah kami bertautan. Lidahku masuk ke
dalam mulutnya, mencari dan memilin lidahnya, bahkan air ludahku ia isap
dengan liar saat lidahku menggelitik bagian atas rongga mulutnya. Di
lain waktu, lidahnya masuk ke dalam mulutku menggelitik gigi geligiku
dan lidahku. Mulut dan lidah kami terus saling mengulum dan membelit
berbagi kenikmatan. Tangannya mengelus-elus kepala dan rambutku.
Jari-jariku kumainkan di pipi dan lehernya.
Kuturunkan kepalaku, bibir dan lidahku menciumi lehernya yang jenjang
dan turun ke pundaknya. Ia makin menggeliat sambil mulutnya terus
mendesah. “Akhh.. Gus, sayang … ah, terus Gus, oohh… teruskan dong Gus,
ja… jangan berhenti!”
Aku mengambil napas memandangi wajahnya sambil jari-jariku mengusap
pundaknya dan bermain ke belakang punggungnya melepas kaitan BH-nya. Ia
makin merintih manakala tali kait BH-nya kulepas sambil menciumi
ketiaknya yang bersih, lidahku kumainkan di situ dan merambat ke arah
payudaranya yang begitu sekal, kenyal dan padat.
“Oww… luar biasa payudaramu, Mbak!” tak dapat kusembunyikan kekagumanku
atas keindahan payudaranya. “Padahal Mbak sudah tidak berumur tiga
puluhan lagi. Koq bisa masih begini kenyal ya Mbak? Seperti payudara
gadis-gadis saja?” lanjutku.
“Ah, kau bisa saja, Gus! Aku kan sudah tua?” bantahnya sambil memainkan jari-jarinya mengelus dadaku.
“Kata siapa Mbak sudah tua? Nyatanya payudara Mbak masih lebih bagus daripada punya Waty istriku,” kataku lagi memuji.
“Gombal! Rayuan kuno Gus!” katanya lagi sambil menjentik pipiku dengan jarinya yang lentik.
Aku menghentikan elusanku sambil mengamati payudaranya yang tak begitu
besar, tetapi begitu sekal, kenyal, sehingga sangat nikmat dielus dan
diremas. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin 34C, tetapi dengan
putingnya yang begitu runcing bagaikan stupa candi, membuatku sangat
terangsang untuk mengecupnya.
“Ada apa sih, Gus? Koq jadi melongo gitu?” tanyanya, entah heran atau
bangga, karena melihat sikapku yang begitu mengagumi keindahan
payudaranya.
“Ini lho Mbak, puting payudaramu sangat cantik. Aku jadi ingat stupa
Candi Borobodur. Bagian atas putingmu begitu runcing, tetapi di bagian
bawahnya semakin melebar, sehingga tidak sama diameternya dengan ujung
putingmu,” kataku lagi sembari mengelus lembut putingnya dan menjilati
ujungnya kemudian turun ke belahan payudaranya. Benar-benar indah.
Seolah-olah ada dua gunung yang bertindihan melihat bentuk payudara dan
putingnya. Gunung pertama berujung pada putingnya, sedangkan gunung yang
lebih besar menyangga putingnya dan membentuk lembah indah ketika
bertemu dengan bagian lereng payudaranya yang lain.
“Ougghhh… Guuusss… ohhh.. enak … yah… terus, terusss, sayang ….”
rintihnya saat kukecup dan kulumat putingnya dengan lidah dan bibirku
tanpa menyentuh gunung payudaranya. Ia semakin menggeliat-geliat saat
bibirku memasukkan putingnya ke mulutku dan mengecupnya dengan lembut,
lama kelamaan makin kuat kemudian lembut lagi, demikian seterusnya.
Apalagi kedua tanganku mulai turut aktif meremas-remas kedua payudaranya
sambil mulutku tak henti-hentinya menjilat dan mengisap putingnya
secara bergantian. Jari-jarinya mulai mencari-cari penisku dan
mengusap-usapnya lagi, tetapi kutepis dengan halus sambil berkata,
“Sabar sayang, tadi kan sudah Mbak puasi aku, sekarang giliranku dulu ya
say…”
“Ahh… sshhh … ihhh … kau menyiksaku Gus … ohh…nikmatnya,” erangnya
sambil menghempaskan kepalanya ke kanan kiri tak beraturan. “Owwhh …
ahhh…,” desahannya makin kuat waktu kedua kedua buah dadanya kudekatkan
satu sama lain dan kedua putingnya kumasukkan ke mulutku serta kuisap
secara berbarengan. Beberapa menit aku melakukan itu sambil lututku
menekan-nekan dengan ritme yang beraturan pada kemaluannya yang telah
basah walaupun masih dibalut celana dalam. Dengan setengah berlutut di
samping tubuhnya yang menggeliat-geliat menahan nikmat, aku terus
memainkan bibir, lidah dan tanganku di puting dan kedua payudaranya dan
sebelah tanganku turun ke bagian bawah perutnya masuk ke balik celana
dalamnya yang semakin basah menelusuri rambut-rambut kemaluannya dan
mengusap-usap vaginanya yang membanjir. Begitu kutemukan sesuatu sebesar
biji kacang pada bagian atas vaginanya yang ternyata adalah
klitorisnya, aku melakukan usapan lembut dan perlahan-lahan menjepitnya
dengan dua jari. Gerakan tersebut membuatnya makin meracau dan
menggeliat.
“Ya…. ya …. terusss … ya …. sshh … itu Guss….., jangan berhenti …. ayo
say …. gerakkan lebih cepat tanganmu pada kelentitku. Oookkhhhh ….
ekkhhh … uhhgg….” ia memberikan perintah padaku sambil menggeliat-geliat
semakin tak menentu.
Mendengar permintaannya itu, aku malah berdiam diri sejenak, hingga ia
tersentak, “Oohh, ada apa … Gus? Jangan berhenti, cepaattt … aku sudah
hampir sampai … ohhh jangan siksa akuuuu…” rintihnya lirih.
Aku tidak menyahut, tetapi kembali kubenamkan wajahku ke dadanya
mencium, menjilat dan mengisap puting dan kedua payudaranya. Putingnya
kuisap kuat-kuat sambil menekankan mulutku ke payudaranya. Bukannya
menolak, ia justru makin membusungkan dadanya ke atas hingga kedua
payudaranya membuatku semakin tak bisa bernapas. Kumasukkan putingnya
bergantian ke dalam mulutku sambil mengisap buah dadanya sebanyak yang
dapat kumasukkan ke mulutku. “Ooooohhhhhhh ….. akkkhhh …. ssshh …. kamu
pinnn…tarrr … Gus!” erangnya. Jari-jariku yang bermain di klitorisnya
terus melakukan sentuhan dan tekanan yang semakin cepat, sesekali
telunjukku kumasukkan ke liang vaginanya hingga cairannya semakin banyak
merembes. Kuusap-usap klitorisnya semakin cepat dan makin cepat hingga
pinggulnya dihentak-hentakkannya ke atas memberikan suguhan pemandangan
yang indah bagiku tentang pesona kenikmatan seorang wanita.
“Ahkhh … ak .. akkhu … mmmmaauu … keluar Gus … sayaanggg … sshhh… eekhh …
ooohhhhh…..!” jeritnya panjang. Kedua belah pahanya menjepit kedua
kakiku dengan eratnya sedangkan tangan kananku dijepitnya di vaginanya
yang membanjir dengan cairan kenikmatan, kedua tangannya memeluk
punggungku sambil mulutnya mencari-cari mulutku dan menciuminya dengan
ganas bahkan dengan lihaynya diisap dan digigitnya lembut lidahku.
Ia masih terengah-engah saat berkata, “Ohhh… kau begitu pandai
memanjakanku, Gus.” Aku tersenyum sambil mengusap rambut-rambut
kemaluannya yang basah kuyup. “Aku masih pakai celana pun sudah kau buat
orgasme,” sambungnya.
“Sayangku, apa yang kulakukan hanyalah merespon rasa cintamu padaku,”
ujarku lembut sambil membelai-belai payudaranya dan tubuhnya yang
telanjang. “Ngomong-ngomong, koq payudaramu masih sekal banget, Mbak,
diapain sih koq tidak kendor walaupun sudah punya dua anak dan kawin
begitu lama?” celetukku penasaran.
“Aku kan tidak pernah menyusui anak-anakku, Gus, karena ASI-ku tidak
banyak. Lalu karena dokter menyarankan susu kaleng, yah jadi keterusan,
nggak menyusui. Selama ini cuma suamikulah yang menyusu padaku, dan
terakhir ini, yah kamu….” katanya sambil memijat hidungku lembut. “Emang
kenapa sih nanya-nanyain itu?
“Soalnya waktu memesrai buah dada Mbak, tidak seperti buah dada wanita
yang sudah punya anak. Kayak payudara gadis aja sih? Dikasih semalaman
menjilatinya pun mau aku” kataku.
“Genit kamu, Gus … hi .. hi .. hi ..” tawanya.
“Berarti aku ini orang kedua yang pernah mencicipi buah dadamu, ya?”
kataku lagi. Setelah terdiam beberapa saat, kutanya dia, “Apakah siap
untuk permainan yang sebenarnya, Mbak Ina sayang?” aku bertanya sambil
merabai pahanya dan berusaha membuka celana dalamnya.
Ia menatapku dengan tatapan sayu tapi penuh rasa sayang, “Gus, aku
sangat ingin melakukan itu denganmu, tapi … tapi …,” ia tak melanjutkan
kalimatnya.
“Mengapa sayang? Apakah Mbak takut hamil akibat perbuatan kita?” tanyaku.
“Bukan itu, Gus! Di usiaku sekarang tentu sudah sulit hamil bagiku,
apalagi aku pakai spiral. Yang kutakutkan adalah jika hubungan kita ini
membuatku lupa akan suamiku. Ia begitu baik, setia dan percaya pada
isterinya, tapi aku telah mengkhianati cintanya dan janji perkawinan
kami,” lanjutnya sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca. Oh, ternyata
wanita ini bukanlah tipe penggoda, bukan pula tipe pengkhianat rumah
tangga, aku semakin mengagumi pribadinya, tetapi aku masih berusaha
menggodanya.
“Kalau begitu, terserah Mbak sajalah. Aku tidak mau memaksa apalagi
memperkosamu, sebab cintaku pada Mbak tidak mengijinkan pemaksaan,”
kataku. Tapi aku sendiri bingung apakah ucapanku itu karena menyetujui
pendapatnya atau karena kesal oleh penolakannya.
Ia mengecup pipi dan bibirku sambil memelukku makin erat, kulihat air
matanya menitik dari celah-celah pelupuk matanya, ia berkata, “Gus
sayang, jangan salah sangka. Aku sangat sayang pada kamu, tetapi aku
sudah bersuami dan punya anak, kamu pun sudah beristeri. Jangan sampai
kita melakukan persetubuhan yang bisa membuat kita lupa akan keluarga
kita.”
“Lalu, yang kita lakukan tadi apa, Mbak? Bukankah itu sudah termasuk
pengkhianatan?” tangkisku. “Kalau memang Mbak tidak suka, mengapa Mbak
merencanakan semua ini?” aku makin tajam mendakwanya. Ia makin
terisak-isak pilu sehingga aku merasa menyesal telah membuatnya merasa
begitu bersalah, padahal aku pun ikut andil dalam kejadian ini. Aku
berdiam diri sambil mengusap-usap rambut dan wajahnya serta punggungnya
dengan lembut.
Beberapa saat kemudian, kulihat ia mengusap air matanya dan dirinya
sudah semakin tenang. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik,
“Gus, aku pernah baca artikel, bahwa anal-sex merupakan salah satu
alternatif hubungan seks. Kalau kamu tidak keberatan, lakukanlah hal itu
walaupun aku sendiri belum pernah melakukannya dengan orang lain bahkan
suamiku.”
Aku terperanjat mendengar bisikannya, tapi merasa tergoda mencoba hal
itu, apalagi dengan isteriku sendiri pun hal itu belum pernah kulakukan.
“Entah bagaimana rasanya?” pikirku sambil membayangkan andaikan kami
melakukannya sekarang.
Sekonyong-konyong ia membuka celana dalamnya dan sisa gaun yang melekat
di tubuhnya dan berbaring terlentang. “Ayo Gus, setubuhi aku lewat
analku agar kau dan aku bersatu malaupun tidak dengan cara yang
sesungguhnya,” ajaknya.
Birahiku bangkit melihat tubuhnya yang terpampang indah di hadapanku.
Perlahan kucium bibirnya, berpagutan dengan berbagai variasi dan saling
memilin lidah. Turun ke payudara dan putingnya yang kembali tegang,
perut dan pusarnya kembali menjadi sasaran lidah dan bibirku, kemudian
jari-jariku menjelajahi rambut kemaluannya yang tipis tapi dicukur
dengan rapi sehingga bagian seputar labia vaginanya betul-betul bersih.
Bibirku terus turun menjelajahi pangkal pahanya, melakukan isapan dan
jilatan lembut hingga ia menggeliat-geliat sambil mendesah. Tibalah
saatnya kuperhatikan klitorisnya yang makin membesar di bagian depan
vaginanya. Kusentuh dengan lidahku hingga ia terpekik ,”Ahhh … kau
apakan aku sayang?” Aku tidak menjawab karena yakin ia baik-baik saja
dan itu merupakan permintaan halus agar aku meneruskan aktivitasku.
Klitorisnya kujilat tanpa mencium labia vaginanya sama sekali. Ia terus
meracau sambil kedua tangannya menekan belakang kepalaku hingga hidung
dan mulutku tepat berada di vaginanya yang sudah banjir. Bibirku
menjilati dan sesekali mengisap labianya. Dan ketika klitorisnya kujilat
dan kumasukkan ke mulutku sambil kuhisap lembut dan makin kuat, ia tak
kuasa menahan gairahnya, pantatnya terangkat ke atas, tapi kedua
tangannya tetap berusaha menekan kepalaku agar tetap berada di
kemaluannya. Jari-jariku meremas-remas kedua bongkah pantatnya dan
sesekali satu tangan bergantian meremas payudaranya. Geliatnya makin tak
beraturan, bahkan ia makin kuat menghempas-hempaskan pinggul dan
pantatnya ke sana ke mari, tetapi aku tidak memberikan kesempatan untuk
melepaskan diri, karena aku tahu, justru hal itulah yang ia inginkan. Ke
mana pinggulnya bergerak, ke situ wajahku ikut sambil bibir dan lidahku
mencium, menjilat dan mengisap seluruh organ kemaluannya. Cairan
vaginanya kembali membanjir dan entah sudah berapa banyak kutelan masuk
dalam mulutku. Rasanya gurih, sedikit asin, tetapi aromanya begitu sedap
dan tidak berbau amis, mungkin karena ia rajin merawat bagian tubuhnya
itu. Rintihannya makin tak beraturan saat dua jari tengah dan telunjuk
tangan kanan kumasukkan pelan-pelan ke vaginanya sambil terus melakukan
aksi dengan bibir dan lidahku, terlebih saat jari tengah tangan kiri
kumasukkan ke lubang analnya setelah kuolesi ludah dan cairan vaginanya.
“Ahhh… Guuussss …. aaa… kkhuuuu …. ahh … ohhh … nikmatnya ….Shhsshh …
ahh ..” suaranya tidak lagi keras, tetapi lebih merupakan desisan dan
rintihan. “Ahhkhhh … lebih cepat Gusss sayang ….!” ia memohon.
Kupercepat aksiku dan kurasakan betapa bagian dalam vaginanya
meremas-remas jariku dan analnya pun memberikan jepitan yang luar biasa
pada jari tengah tangan kiriku. Tanpa memberinya peluang untuk melawan,
kulakukan gerakan semakin cepat, hingga ia meronta-ronta,
menggelinjang-gelinjang dengan rambut yang tak beraturan dan bola
matanya membeliak menahan kenikmatan yang sudah di ambang pintu.
Dengan satu hentakan, kulakukan gerakan bersamaan ke vagina dan analnya
sambil mengisap klitorisnya dengan cepat tetapi lembut. “Aaaakhhhhhh …..
aku …. keluar Gus!!!” jeritnya sambil mencakar pundak dan punggungku.
Kulihat di ujung matanya menetes air mata. Kulepaskan jari-jariku dari
bagian bawah tubuhnya dan kurengkuh tubuhnya sambil menciumi matanya,
kujilati air matanya sambil membelai-belai rambutnya.
“Kenapa Mbak? Apakah aku menyakitimu?” tanyaku sambil memeluk dirinya.
“Ohhh… sayang. Agusku sayang, aku begitu bahagia. Begitu luar biasa
kenikmatan yang kau berikan. Suamiku sendiri belum pernah memperlakukan
diriku sepertimu. Terima kasih sayang,” bisiknya sambil mengecup leher
dan bibirku.
Orgasme yang kedua kalinya membuat Mbak Ina terkapar tanpa seutas benang
pun melekat pada tubuhnya. Kami berbaring terlentang sambil berpegangan
dan meremas tangan. Aku merasa agak lelah karena sudah memuaskannya
sedemikian rupa. Tak sadar aku tertidur. Beberapa saat kemudian
kurasakan elusan pada dada, perut dan pahaku. Penisku yang sudah
terkulai kembali bangun akibat elusan jari-jari lembut pada dirinya.
Mataku kubuka perlahan dan kulihat Mbak Ina sudah berlutut di samping
tubuhku sambil merabai tubuhku. “Luar biasa wanita ini. Masih sanggup
bermain lagi rupanya?” kataku dalam hati.
Aku pura-pura masih tertidur, tapi waktu kurasakan kepala penisku
dikulum oleh mulut lembut Mbak Ina, aku tak kuasa lagi, erangan nikmat
pun kembali kulantunkan. “Ahhhh, mau apa lagi Mbak?” Tanganku
mengelus-elus rambutnya yang tergerai di perut dan dadaku.
“Aku tak mau stand kita masih 1-2, belum 2-2. Aku mau memuaskanmu sekali lagi,” katanya.
“Maksud Mbak gimana?” tanyaku berlagak pilon, tetapi senang juga dengan perlakuannya.
“Tadi kan sudah kubilang supaya kita main anal, koq kau tidak lakukan?” desaknya.
“Apa nggak sakit nanti Mbak? Aku sih mau-mau saja, apalagi kata orang enak banget rasanya. Pengen sih nyobain,” kataku menggoda.
“Emang istrimu belum pernah kau gituin?” tanyanya.
Aku tidak menjawab, malah balik bertanya, “Mbak sendiri apa pernah melakukannya dengan suami Mbak?”
“Suamiku sih mau menang sendiri aja. Baru sebentar main, sudah keluar.
Aku sering dibiarkan mencari kenikmatan sendiri. Jangankan main anal,
main biasa aja ia sering kewalahan. Satu ronde saja sudah terkapar,”
gumamnya.
“Wah, nasib kita sama dong, Mbak” kataku. “Istriku pun masih kuno. Nggak
kayak Mbak ini. Seringkali aku yang meminta baru ia mau berhubungan
badan. Kalau aku diam aja, ya dia tidak pernah mau minta kusetubuhi.
Padahal kami laki-laki pun senang jika istri meminta, bukan kami saja
yang minta, iya nggak? Posisi kami pun gitu-gitu aja, tidak mau coba
variasi macem-macem.” Entah mengapa aku begitu terbuka padanya tentang
rahasia di balik ranjang perkawinanku.
“Kasihan kamu ya!” timpalnya, “Melihat bentuk tubuhmu, nafsu seks-mu
pasti sangat hebat, tapi dengan istri yang begitu, bisa-bisa jajan terus
dong kamu!” katanya mencoba mengorek informasi.
“Aku tak berani jajan, Mbak. Takut kena penyakit kelamin,” elakku.
“Paling-paling kalau sudah tidak tahan, yah main “swalayan” alias pake
sabun di kamar mandi. Malah dengan perempuan lain, yah baru dengan Mbak
inilah,” ungkapku jujur.
“Masak sih? Apa iya ada lelaki jujur di abad ini?” tukas Mbak Ina sambil mencubit pipiku.
“Buat apa aku bohong Mbak, apalagi kepada wanita yang kusayangi seperti Mbak ini,” kataku.
“Iya deh, aku percaya kata-katamu,” ia menutup percakapan kami sambil kembali memelukku dengan tubuhnya di atasku.
Himpitan payudaranya membuatku kembali terangsang, apalagi jari-jarinya
bermain di sekitar paha dan mulai merabai penis dan testisku kembali.
Aku berbisik padanya, “Mbak, sudah siap main anal-nya? Aku jadi kepengen
nih atas ajakan Mbak tadi?”
“Sudah siap sejak tadi, sayang, tapi kamunya malah bikin aku kesetanan dengan orgasmeku tadi,” jawabnya.
Kembali kuciumi seluruh tubuhnya, bahkan hingga telapak kaki dan
jari-jari kakinya, hingga ia kembali mendesah, merintih dan menjerit
kecil di kamar hotel itu. Dengan cairan vaginanya yang kembali
membanjir, kubasahi lubang analnya dan kuperhatikan bentuknya yang
begitu mungil tetapi geliatnya persis mpot-mpotan ayam seperti pernah
kubaca di buku tentang seksologi. Aku tak tahan memandanginya terus,
kujilati analnya dan pelan-pelan kumasukkan satu jari ke dalam. Mbak Ina
mengerang. Tubuhnya kubalikkan dengan pantat di atas, sehingga dengan
posisi menungging dapat kulihat lebih jelas bentuknya. Ia makin merintih
waktu jariku kumasukkan lebih dalam.
“Ayo sayang, sekarang … aku sudah tak tahan …” desahnya.
Kutempatkan pinggulku tepat di belakang kedua belah pantatnya yang
sintal dan perlahan-lahan kepala penis kugesekkan ke lubang analnya. Ia
mendesah semakin lirih. Kepala penisku kudesakkan, mula-mula agak susah
karena lubangnya begitu kecil. Namun begitu kuolesi lagi dengan ludahku
dan cairan vaginanya, sudah semakin mudah dimasuki. Kepala penisku pun
masuk dengan sukses. “Aukhhh… sakittt sayang…,” desisnya. Aku
menghentikan dorongan penisku dan berniat menariknya, tetapi ia justru
menarik kedua belah pahaku kembali meneruskan kegiatanku. “Oohhh, enak
banget penismu sayang ….,” rintihnya.
Aku berdiam diri sejenak, lalu kuteruskan aksiku mendorong penis makin
dalam memasuki analnya. Setengah penisku sudah masuk, ia agak
mendongakkan kepala seakan menahan sakit, tetapi gerakannya pantatnya
malah mundur pantatnya agar penisku masuk lebih dalam lagi. Setelah
penisku masuk 2/3, kutarik mundur, kumajukan lagi, demikian seterusnya.
Dan kalau kurasa agak susah masuk, kembali kuberikan ludahku untuk
melincinkan jalan masuk penis ke dalam analnya. Mbak Ina merintih-rintih
dengan nikmat, apalagi tangan kiriku memainkan vaginanya dari depan dan
tangan kananku meraih payudaranya, sehingga ia merasakan kenikmatan
yang begitu luar biasa.
“Oughhh … Guusss, ssshhh … akhhh,” desisnya seperti orang kepedasan
akibat rasa nikmat yang tak terkatakan. “Terusss …. okhh ….
terrussskaaan …. sayyyang … ahhhhh …”
Rintihannya semakin kuat dan suatu ketika ia menjerit-jerit sambil
menghentakkan pantatnya ke belakang hingga tak ayal lagi seluruh penisku
menghunjam ke dalam analnya. Akibatnya sangat luar biasa. Aku begitu
terpukau dengan gerakannya dan melakukan reaksi berupa gerakan cepat dan
sesekali memutar dalam analnya.
Mbak Ina merintih-rintih. Kedua tanganku terus bermain di vagina dan
payudaranya, apalagi waktu dadaku kudekatkan merapat ke punggungnya
sambil merabai payudara dan membelai serta memelintir putingnya, ia
makin kuat meronta-ronta tapi tidak berusaha melepaskan hunjamanku pada
analnya. Gerakannya makin liar dan akhirnya ia tidak lagi menungging,
tetapi tengkurap di ranjang tetapi dengan tanganku masih meremas
payudara dan vaginanya dan hebatnya, dengan posisi ini, kurasakan
penisku mendapatkan lumatan yang begitu dahsyat dalam analnya.
“Ayo sayang, ahhh …. ayyooo …. keluarin spermamu di analku, ohhhh ….
tidak usah dikeluarkan di luar,” rintihnya. “Akkhhh … sayang …. oughhh…
nik … mattt …., uhhhh …. ohhh …. aku keluar lagi sayangggg….
aaaakkhhhh,” jeritnya.
Kurasakan betapa kuat jepitan otot-otot analnya pada penisku, sensasi
yang luar biasa merasuki diriku dan dengan hentakan yang kuat pada
analnya, penisku menyemprotkan cairan kenikmatan di dalam liang analnya.
Denyutan vaginanya yang demikian basah pada jari-jari tanganku bersaing
dengan remasan otot-otot di liang analnya.
Aku terpekik merasakan kenikmatan yang begitu dahsyat, “Aku … ohhh, ….
aku .. juga keluar, Mbak Ina …. ooohhh … sayyy… sayang …. akhh ….,”
bisikku di telinga Mbak Ina saat menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya
sembari menggigit pundaknya dengan gemas dengan penisku masih tetap
berada di analnya. Kunikmati denyutan demi denyutan pada liang vaginanya
dan analnya yang menjepit penisku. Kuangkat perlahan-lahan penisku
keluar dari analnya dan kuperhatikan beberapa tetesan cairan
kenikmatanku turut keluar dari analnya membasahi pangkal pahanya.
“Penismu enak banget say…,” desahnya di telingaku sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku.
“Enak mana dibanding suami Mbak?” godaku.
“Enakan punyamu Gus!”
“Emang penisku lebih besar dari punya suami Mbak?” tanyaku dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Ukurannya sih lebih besar dan lebih panjang dari punyamu, Gus. Tapi apa
artinya kalau tidak bisa menggunakannya dengan baik? Enakan yang
biasa-biasa aja kayak punyamu, tapi begitu perkasa memuaskan wanitanya,”
katanya sambil meraba penisku yang mulai melembek.
“Lho, bukannya kalau lebih besar pasti lebih enak, Mbak?” Ada sedikit
rasa iri padaku mendengar pengakuannya bahwa penis suaminya lebih besar
daripada penisku.
“Yaah, itu kan kata orang. Aku yang menjadi istri lebih sepuluh tahun,
bisa merasakan orgasme sekali sebulan pun sudah untung. Apalagi
akhir-akhir ini seringkali cuma sekali seminggu berhubungan badan, itu
pun kebanyakan karena kuminta,” paparnya. “Tahu nggak Gus, walaupun kata
orang, gairah wanita makin menurun pada usia empat puluh menjelang
menopause, tapi aku sendiri merasa seolah-olah gairah masa mudaku
kembali lagi. Entah mengapa bisa begitu? Aku sendiri heran tuh,”
lanjutnya.
“Kan ada aku, Mbak? Kalau butuh kenikmatan, aku tidak akan menolak Mbak,” rayuku.
“Gus, Gus …. kamu ternyata pandai memuaskan dan menyenangkan wanita,”
katanya menanggapi rayuanku, “Tapi jangan lupa, kalau di Jakarta, mana
mungkin kita begini? Bisa-bisa rumah tangga kita masing-masing hancur,
iya nggak?”
Aku terdiam menyimak kata-katanya sambil mengelus-elus rambutnya di
keningnya dan yang tergerai di dadaku. “Ya, benar Mbak. Apalagi reputasi
Mbak begitu bagus selama ini. Bisa-bisa semuanya jadi tak berarti kalau
perselingkuhan kita ketahuan ya?”
“Benar Gus,” jawabnya, “Tapi, jangan biarkan aku sendiri tidur kalau tugas berdua seperti ini lagi keluar kota ya?” pintanya.
“Emang masih boleh nanti-nanti, Mbak? Apa nggak takut ketahuan kenalan kita jika kebetulan ketemu?” tukasku.
“Ah, kalau lagi tugas gini, kita tetap aja pesan dua kamar terpisah,
tapi kalau malam tidurnya bareng,” imbuhnya membuat hatiku
berbunga-bunga. “Berarti masih ada kesempatan lain untuk bermesraan
dengannya, walaupun mungkin ia takkan pernah mau melakukan hubungan
badan lewat vaginanya,” pikirku nakal.
“Duhh, aku senang banget mendengar kata-kata Mbak,” kataku. “Lebih enak
tidur berdua gini, bisa makin fresh kalau balik ke Jakarta ya?”
Ia tidak menjawab, hanya tersenyum dan memainkan jari-jarinya di dadaku.
Aku berbaring terlentang di sebelahnya dan ia berbaring lelah dengan
kepalanya di dadaku sambil mengusap-usap perut dan penisku. Matanya
terpejam dan iapun tertidur. Aku pun tak kuasa menahan kelopak mataku,
tapi sebelum tertidur dalam posisi telanjang, masih sempat kutoleh jam
dinding menunjukkan angka 4.
Waktu terbangun, aku merasa tubuh Mbak Ina masih tergolek di atas
tubuhku. Tangannya masih memegangi penisku yang sudah layu dengan
sisa-sisa sperma yang telah mengering. Kutengok jam telah menunjukkan
pukul 7 pagi, berarti aku tertidur selama 3 jam. Aku ingin bangun dan
berusaha memindahkan tubuhnya ke sampingku, tetapi tiba-tiba Mbak Ina
meraih pinggangku sehingga tubuhku rebah di atas tubuhnya. Payudaranya
kurasa kenyal, liat, belum kendor, menekan dadaku, apalagi kutoleh
putingnya sudah tegang lagi. “Ah… kuat benar nafsu wanita ini, padahal
dalam keseharian ia tampil begitu sopan, tidak nampak binal sama
sekali,” batinku.
Dengan mata masih terpejam, ia menciumi bibirku dan mengusap-usap
punggungku sambil berkata, “Sayangku, betapa nikmat kebersamaan kita
tadi.” Aku menggulirkan tubuhku ke sampingnya dan memandangi wajahnya
dengan memiringkan tubuh, “Ya Mbak, aku merasa seperti musafir kehausan
yang baru menemukan oase,” sambutku sambil membelai-belai anak-anak
rambut di keningnya.
“Gusss,” bisiknya lembut di telingaku sambil menciumi belakang telingaku
hingga desah napasnya terasa menggelitik membuatku geli tapi nikmat.
“Aku mau sarapan …”
“Ayo Mbak, apa kupesankan breakfast by phone?” timpalku.
“Bukan sarapan itu maksudku, sayang,” desahnya sambil mencubiti kedua
putingku bergantian, “Aku mau mengulangi kemesraan kita yang tadi …
please!” sahutnya menghiba.
Gairahku bergolak kembali, apalagi ia langsung bergerak ke arah
selangkanganku dan menempatkan tubuhnya di atas tubuhku dengan posisi
terbalik. Kepalanya ia tempatkan di pangkal pahaku, sedangkan pahanya
mencari tempat di atas wajahku. Jari-jari tangannya meraih penisku,
dengan bibir dan lidahnya ia mengecup kepala dan leher penisku, kemudian
menjilatinya seperti anak kecil yang kesenangan menikmati es krim. Aku
tak kuasa menolakkan tubuhnya, bahkan mulai menikmati posisi 69 yang ia
tawarkan. Vaginanya mulai terasa basah lagi sewaktu bibir dan lidahku
menyeruak menjilati bibir-bibir vaginanya yang merah merona. Kedua
tanganku kulingkarkan ke atas hingga tepat memegang kedua belahan
pantatnya. Remasan demi remasan di pantatnya membuatnya mengerang, “Ahhh
… nikmatnya say.”
Lidahku makin gesit bermain menjilati kedua labia vaginanya, bahkan
bibirku mulai mengisap secara bergantian bibir-bibir yang menyimpan
kenikmatan itu. Saat kujilat klitorisnya, pahanya nampak bergetar
menahan nikmat, apalagi saat jari telunjukku kumasukkan lagi menerobos
analnya, ia semakin merintih bahkan sesekali menjerit. Tetapi ia tidak
berusaha mengangkat pantatnya dari jilatan dan hisapanku; bahkan ia
semakin kuat menekan pantatnya ke bawah hingga kurasakan hidung dan
mulutku terbenam pada vaginanya yang merekah. “Ohhh… Agusss…., terusss …
teruskan sayangkuuuu….,” desahnya sambil meliuk-liukkan pinggulnya.
“Sekarang, sekarang masukkan lagi penismu di analku, sayanggghhh ….
ooougghh ….,” rintihnya sambil berbalik terlentang dan membuka kedua
pahanya lebar-lebar. Ohhh, sungguh fantastis, dibawah cahaya mentari
yang masuk lewat gordijn jendela kamar hotel, kulihat betapa indah
bentuk vaginanya yang telah kumesrai semalam.
Aku berlutut di antara kedua pahanya. Ia sudah menggelepar-gelepar
seperti ikan terlempar dari air ke daratan, karena jari-jari tanganku
terus bermain di klitoris dan vaginanya. Kedua tangannya kini
meremas-remas payudara dan putingnya, matanya membeliak karena
kenikmatan yang ia rasakan. Kedua kakinya kutarik lembut dan kuletakkan
ke atas bahuku sambil mendekatkan lutut makin rapat ke pangkal pahanya.
Jari-jariku mengait-ngait klitoris dan vaginanya dan cairan kenikmatan
yang dihasilkan rongga vaginanya kuusapkan di analnya, juga air ludahku
untuk menambah licinnya penetrasi penisku, bahkan kumasukkan jari
telunjuk kanan ke dalamnya. Ia mengerang sambil terus meremas-remas dan
mempermainkan payudaranya sendiri. Aku terpukau melihat gayanya.
Ternyata Mbak Ina yang begitu tenang dalam penampilan di kantor,
menyimpan kekuatan seks yang sangat hebat. Gayanya mengingatkanku pada
pola permainan bintang film porno.
Setelah kurasa cairan vaginanya bercampur air ludahku telah cukup
sebagai pelumas untuk memberi jalan bagi penisku, kepala penis
kutempatkan di mulut analnya, mengulas-ulasnya beberapa saat, dan
kumasukkan pelan-pelan sambil memperbaiki letak kakinya di pundakku.
“Akhh …. sshhhh … ougghhh … pelan-pelan sayanggghhh….akhhh,” rintihnya
dan kedua tangannya seakan-akan ingin menolakkan pahaku, tetapi waktu
kutarik mundur penisku dari analnya, kedua tangannya justru meraih
pahaku untuk semakin rapat ke pahanya. Aku kembali melakukan tekanan
dengan tenaga yang makin meninggi, walaupun belum berani
memasuk-keluarkan penis dengan gerakan cepat di analnya, khawatir
terjadi iritasi pada analnya. “Terus … ohhhh … te..russs…kan …..
sayyyanggg …. akhhhhhh,” mulutnya mendesis sambil lidahnya ia julurkan
keluar mulutnya dan menjilati bibirnya sendiri. Semakin lengkap
penampilannya kulihat sebagai bintang seks.
Penisku sudah lebih setengah bermain di analnya, tetapi ia justru makin
memajukan pahanya agar penisku masuk lebih dalam lagi. Kedua tangannya
meraih kedua pahaku agar lebih rapat lagi ke pahanya. Dan waktu penisku
masuk seluruhnya, tubuhnya terasa mengejang, sehingga aku sempat kaget
dan menghentikan gerakanku.
“Ada apa, Mbak? Apakah aku menyakitimu?” tanyaku lembut.
“Ohhh… tidak, tidak sayang…. Teruskan, teruskan … akkhhh… enn…nak
sayang….” ia merintih sambil menghempaskan kepalanya ke kanan kiri.
Tangannya bergantian bermain di payudaranya dan sesekali meremas-remas
sprei ranjang.
Kedua kakinya sudah hampir tegak lurus terhadap tubuhnya, berjuntai di
pundakku. Kupercepat gerakan penis di analnya sambil jari-jariku kembali
merangsang klitoris dan vaginanya, bahkan dua jariku kumasukkan ke
dalam vaginanya, hingga ia terpekik.
“Gussss!!! Ahhh …. nikmatttt sayyy …” rintihannya. Suara kecipak penisku
beradu dengan analnya dan jari-jariku masuk keluar vaginanya
melantunkan irama yang sangat nikmat untuk didengar. Gerakan kami
semakin liar dan tak beraturan. Rintihan kami berdua bercampur bunyi
kelamin kami. Penisku makin cepat kuhunjamkan ke analnya hingga terasa
ada jepitan yang begitu kuat di kepala penisku. “Ahhh… koq rasanya
seperti vagina saja jadinya?” pikirku.
“Ayo say … goyang … goyang yang kuat,” katanya sambil menikmati gerakan
pantatku yang tidak lagi hanya maju mundur, tetapi juga menggunakan
gerakan ngebor. Tanganku tidak lagi hanya bermain di vagina dan
klitorisnya, tetapi juga meremas payudara dan menarik-narik dan
memelintir putingnya hingga nampak warnanya semakin merah akibat jamahan
dan jepitan jari-jariku. Keringatku tak kurasakan lagi mengucur dan
menetes ke perutnya. Begitu pula keringat Mbak Ina telah membasahi
tubuhnya membuatku semakin terangsang melihat payudara, perut dan
pahanya yang nampak seakan-akan bercahaya.
“Akhhh …. Gus …. sayaaannggg … akkkkhu …. keluarrrr … arrhggg….”
jeritnya sambil menghempaskan pantatnya makin dalam hingga seluruh
penisku ditelan analnya dan kedua kakinya menjepit kepalaku dengan
kuatnya. Kurasakan betapa otot-otot vagina dan analnya berdenyut-denyut
akibat orgasme yang sudah melanda dirinya. Mbak Ina terengah-engah
“Okhhh …. Mbak, tahannn …. biar bareng denganku,” pintaku.
“Oougg … sshhh … ahhh … aku sudah tidak kuatttt ….. oooooohhhh Gusss…”
teriaknya membahana dan kurasakan cairan vaginanya begitu banyak
membanjir membasahi jari-jariku dan jepitan analnya menahan penisku
hingga tak bisa kutarik mundur. Aku pun mengerang sambil memeluk kedua
kakinya di dadaku dan merasakan penisku berdenyut-denyut semakin kuat,
pertanda akan mencapai klimaks.
“Mbaakkkk ….. ohhhh sayangkuuu…. ” gumamku sambil menikmati puncak
kenikmatan bersama dirinya. Dengan cepat kurebahkan dia dan menarik
penisku dari analnya lalu dengan lahap melumat vaginanya dan menyedot
cairannya yang membanjir hingga menetes ke sela-sela pahanya. Ia
menggeliat-geliat geli merasakan bibir dan lidahku menyedot cairan
vaginanya dengan sangat bernafsu. Sprei di ranjangnya sudah acak-acakan
akibat permainan panas kami berdua yang begitu menggebu-gebu.
Akhirnya, kami berdua berbaring bersisian sambil menenangkan diri,
hingga lambat laun napas kami kembali normal. Ia mengambil handuk kecil
dan melap peluh yang ada di tubuhku barulah kemudian ia sendiri
mengeringkan tubuhnya dari keringatnya. Kami terlentang berdua sambil
menatap langit-langit kamar hotel dengan tangan saling menggenggam.
Setelah itu kami mandi berduaan di bathtub. Saling menyabuni satu sama
lain. Ia menolak halus waktu kuelus-elus payudara dan vaginanya dengan
sabun sambil merangsangnya kembali. “Sudah Gus, aku capek… ntar lagi deh
kalau mau ….” Kami berdua keluar kamar mandi. Sambil memandanginya
berpakaian dan berdandan, aku memesan makanan diantarkan ke kamar. Ia
mengenakan celana pendek dan baju you can see tanpa mengenakan BH.
Kami makan berdua sambil menikmati siaran televisi. Jam sudah
menunjukkan pukul 10. Aku pamit ke kamarku, walaupun ia merengek mau
mencegah kepergianku. Saat di kamar, telepon berdering-dering terus
begitu juga ponselku, tetapi waktu kulihat nomor ponselnya yang
memanggil, sengaja tak kujawab. Lima belas menit kemudian aku kembali ke
kamarnya dan mengetuk. Pintu kamarnya terbuka dan kulihat wajahnya
cemberut, “Kenapa sih tidak mau jawab teleponku?” tanyanya sambil
mencubit lengan atasku dengan gemas.
“Addduhhh, sakit Mbak,” jeritku sambil menutup pintu di belakang kami.
Ia menarik tanganku dan mendorongku hingga rebah ke atas ranjangnya.
Lalu tubuhnya jatuh menimpaku tanpa dapat kucegah. Payudaranya yang
kenyal menekan dadaku dan bibirnya menjejahi wajahku hingga aku
gelagapan dibuatnya. Kembali kami mereguk kenikmatan demi kenikmatan
hingga sore hari saat kami check-out dari hotel tersebut menuju Bandar
Udara kembali ke Jakarta. Di atas pesawat ke Jakarta, aku merenungi
kejadian dua hari itu sambil membaui aroma tubuh Mbak Ina yang tertidur
dengan kepala rebah ke bahuku. Ah, benar-benar kenangan manis yang tak
terlupakan. Akankah ada lagi kelanjutannya?
Sepulang dari pertemuan di Yogya, Mbak Ina tetap bersikap biasa-biasa
padaku di kantor. Aku juga tidak berusaha memancing percakapan yang
bersifat pribadi atau memandangnya dengan tatapan sayang, agar tidak
menimbulkan kecurigaan teman-teman sekantor. Begitulah, di lingkungan
kantor ia tetap seorang Ibu Ina yang tegas, tetapi ramah, baik kepada
karyawan dan setia pada keluarga. Tetapi dalam hatiku ia kuanggap
sebagai kekasih.
Empat bulan setelah penugasan ke Yogya, aku dipanggil oleh Direktur
Utama. “Saudara Agus, saya memanggil saudara untuk memberitahukan bahwa
minggu depan ada pertemuan sangat penting tentang quality control of
product untuk regional Asia di Singapura. Lamanya 3 hari. Orang yang
saya percayai untuk hadir pada pertemuan itu adalah Ibu Ina dan saudara
Agus. Mengapa? Sebab berdasarkan catatan psikolog perusahaan dan
rekomendasi dari Ibu Ina serta memperhatikan kinerja saudara selama ini,
saudara sudah mampu bekerja pada bagian yang Ibu Ina pimpin. Dan
sepulang dari Singapura, saudara akan kami berikan tugas baru sebagai
Manager Assisstant Ibu Ina, tentunya dengan standar penghasilan dan
fasilitas sebagaimana mestinya. Kami harap saudara bersedia menerima
tugas dan promosi ini.”
“Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya, Pak, tapi
saya minta ijin untuk melakukan adaptasi dalam waktu 2 minggu agar dapat
mempelajari hal-hal yang menjadi kewajiban saya. Mudah-mudahan saya
tidak mengecewakan Bapak dan pimpinan lain atas kepercayaan yang
diberikan,” aku menjawab dengan riang, apalagi membayangkan berduaan
lagi dengan Mbak Ina.
Pada hari yang ditentukan, Mbak Ina berangkat denganku menuju Singapura.
Kami masih memiliki waktu sehari untuk bersiap-siap mengikuti pertemuan
regional tersebut. Waktu berada di pesawat, Mbak Ina berbisik padaku,
“Gus, jangan lupa ya, tiap malam kamu harus tidur di kamarku lho,
walaupun kita tetap menyewa dua kamar hotel.”
“Tentu saja, Mbak. Dengan senang hati,” balasku.
Setiba di Singapura, kami naik taxi menuju hotel yang telah dipesan dari
Jakarta. Kami diantar oleh room boy hotel ke kamar masing-masing. Baru
lima belas menit di kamar, telepon berdering, “Hello, Dik Agus, ke
kamarku aja dulu sekarang ya?” kudengar suara Mbak Ina.
“Iya Mbak. Ha.. ha.. sabaarr, ojo kesusu yo Mbak!” godaku sambil tertawa.
“Iiihhh, ngomong kesusu, udah ngeres aja kamu ya? Hi … hi … hi …”
sambutnya terkikik lembut. “Pokoknya buruan, lewat dari sepuluh menit,
pintu tidak dibuka lagi,” ancamnya.
“Daulat Tuan Puteri, hamba akan segera datang memenuhi panggilan Tuanku,” kujawab ancamannya dengan rayuan.
Agar tidak ada yang curiga apabila memergoki aku masuk ke kamar wanita
yang bukan isteriku, aku datang menenteng tas berisi notebook dan
berpakaian rapi. Tidak sampai lima menit, aku sudah berdiri di depan
kamarnya dan mengetuk. Aku terpana, tanganku ditarik masuk dan dengan
cepat pintu telah ditutup oleh Mbak Ina yang sudah berdiri di depanku
dengan hanya mengenakan celana dalam dan BH. Tubuhnya yang langsing
begitu sexy, pinggulnya begitu indah dan pantatnya yang padat serta dada
yang agak membusung meskipun payudaranya tidak begitu besar, membuat
mataku cepat mengirimkan info ke otak. Aku merasa darahku mengalir
semakin cepat di sekujur tubuhku. Wajahku langsung memerah melihat
penampilannya dan desakan di pangkal pahaku semakin sempit terasa karena
reaksi alami.
“Kita mandi dulu yuk,” ajaknya sambil membukai dasi, baju dan celanaku,
hingga aku hanya benar-benar telanjang bulat di hadapannya. “Luar biasa!
Mbak Ina yang sangat berwibawa di kantor, rela memberikan tubuhnya
bagiku,” batinku. Ditariknya tanganku setengah menyeret dan dengan cepat
ia melepaskan celana dalam dan BH-nya, sehingga kami berdua berjalan ke
kamar mandi bagaikan dua bayi raksasa yang siap berendam di bathtub.
Sesampainya di dalam, kulihat air hangat di bathtub telah penuh dan
wangi-wangian rempah begitu semerbak memenuhi kamar mandi tersebut.
Rupanya Mbak Ina sebelumnya membawa bekal untuk menambah sensasi
kebersamaan kami. Kami pun bergandengan tangan masuk ke dalam bathtub.
Dalam keadaan masih berdiri kami berpelukan dan berciuman dengan ganas,
maklum telah empat bulan berlalu sejak kejadian di Yogya, kami sama-sama
rindu suasana penuh kegilaan itu lagi. Sambil terus berciuman kami
duduk berhadapan di bathtub, tangan kami saling mengelus tubuh yang
lain. Payudaranya kuremas-remas dengan lembut, putingnya kubelai-belai.
Ia membalik tubuhnya dan duduk di pangkuanku. Penisku kurasa sudah
begitu tegang apalagi waktu pantatnya turun menindih kedua belah pahaku.
Kedua pahanya agak dibuka dan memberi ruang bagi penisku untuk
bersentuhan dalam air dengan rambut-rambut kemaluannya. Aku mengambil
sabun dan menyabuni bahu, punggung, pinggulnya, kemudian tanganku
bergerak ke bagian depan tubuhnya menyabuni pundak depannya, turun ke
payudara, di situ kedua tanganku mengelus-elus kedua puting payudaranya,
juga meremas kedua belah payudaranya dengan gerakan melingkar, hingga
ia mendesah-desak nikmat.
“Oohhh, ya …. ya, gitu Gus. Ssshhh…., addduuuhhh …. enak …. oughhh
nikmatnya Gus?” serunya sambil tangannya mengelus-elus penisku yang
dijepit oleh kedua pahanya yang kupangku.
“Ohhh … shhhh … udah dulu Gus, aku sudah tak tahan … ntar kita teruskan …
di ranjang. Aku mulai kedinginan nih,” tiba-tiba ia bangkit berdiri dan
membilas tubuhnya dengan air yang mengucur dari shower. Kubiarkan ia
meraih handuk dan melap tubuhnya sambil berjalan keluar. Aku pun segera
menyelesaikan mandi, mengambil handuk dan dengan cepat mengeringkan
tubuhku.
Kulihat ia sudah berbaring di ranjang di bawah selimut. Aku melompat ke
ranjang dengan bertelanjang, hingga ia tersenyum melihat ulahku. Kubuka
selimutnya dan masuk ke bawah selimut bersama-sama dengan Mbak Ina. Wah,
ternyata ia sama saja denganku, sama-sama bertelanjang. Tiba-tiba kedua
tangannya meraih kepalaku dan menciumi pipiku, hidungku dan berhenti di
bibirku. Kami saling melumat dengan ganas dan lidah kami saling
memilin. Geliatnya semakin tak menentu saat tanganku meremas kedua
bulatan di dadanya, terlebih lagi waktu jari-jariku bermain di putingnya
dan melumatnya dengan bibirku.
“Ahh… ekhh … sshhh… Gus …. terus …. terusss…. shhh,” rintihnya.
Lidahku bermain turun dari klitorisnya, kedua belah bibir bawahnya tak
luput dari jilatan dan kuluman lidah dan permainan bibirku. Dengan
jari-jariku, kukuakkan kedua labianya ke kanan kiri sehingga terlihat
warna merah merona vaginanya yang indah. “Akkkhh … nikmattthhh ….
Guuusss….. oooohhhhhhhhhhhhhhhh ….” jeritnya sewaktu lidahku kusapukan
ke bagian dalam vaginanya yang terpampang lebar karena kedua labianya
kutarik ke kanan kiri. Ia terengah-engah karena rasa nikmat yang semakin
memuncak. Kulihat keringat mulai menetes di lehernya, juga dada, perut
dan pinggangnya.
Lidahku terus turun hingga melewati ujung bawah vaginanya. Kini
sasaranku adalah lubang analnya. Kuarahkan hidung mengendus-endus
analnya. Ia menggeliat kegelian, tetapi tidak berusaha menolakkan
kepalaku. Bibirku mulai menciumi tepi-tepi analnya dan lidahku mulai
mencari-cari lubang analnya. Jari-jariku kupakai untuk membuka analnya
lebih lebar sehingga lidahku masuk ke analnya. Mendapat perlakuan
demikian, pantatnya tiba-tiba terangkat ke atas dan rintihannya semakin
keras mengatasi suara televisi yang sedang menyiarkan warta berita.
“Ihhhhh …. nikmaaaaattthhhhh ….” Analnya terus kujilati sambil
jari-jariku terus mengusap-usap labia dan klitorisnya.
“Okkhhhhh ….. ssshhhhh … Gussss, aku tak kuuuu….att ….. ahhhhhh….. aku
mau … ke …. kelll…..luarrrrr …..” ia menjerit-jerit sambil
menggeliat-geliat. Tiba-tiba kurasakan vaginanya membanjir dengan cairan
yang cukup banyak. Tak mau kehilangan momentum yang menentukan,
kuarahkan bibir dan mulutku ke vaginanya dan menyedot dengan rakusnya
cairan kenikmatan yang dihasilkannya. Telunjuk kiriku masuk ke
vaginanya, menusuk dalam-dalam sedangkan telunjuk tangan kananku dengan
cepat menembus analnya hingga lebih setengah jariku ditelan analnya yang
berdenyut-denyut menjepit jariku.
“Sayannnnngggg …oohhh …. akkk ….. ku keluarrrrr …..” teriaknya sambil
kepalanya dihempas-hempaskan ke kiri dan kanan. Tangannya meremas-remas
kedua buah dadanya dengan ganas dan pahanya dirapatkan dengan jariku
masih terjepit dalam analnya.
Sesudahnya ia tergolek lemas dengan senyum manis dan tatapan sayu ke
arahku. Aku membalas dengan mengecup bibirnya berbagi cairan
kenikmatannya yang masih tersisa di mulutku. Ia amat bergairah menyambut
ciumanku dan tidak merasa jijik menjilati cairannya yang ada di
mulutku.
Tubuhku kuletakkan miring memeluk dirinya dari belakang. Sambil
kuelus-elus bahu, pinggang dan pinggulnya, penisku mengambil posisi
tepat di belakang pantatnya. Kurenggangkan sedikit pahanya dan
perlahan-lahan penisku mencari-cari lubang analnya. Karena begitu
sempit, kugunakan lagi jari-jariku meraba dan menusuk analnya setelah
membasahinya dengan ludahku. Ia tersentak dengan style yang kupakai
sekarang. Analnya semakin membesar saat topi baja kepala penisku
memasuki sedikit demi sedikit. Kuhunjamkan penisku semakin dalam dan ia
kembali mengerang. Kembali birahinya naik menyambut tusukan-tusukan
mautku dan remasan jari-jariku di payudaranya. Karena posisinya demikian
kritis, penisku masuk sebagian saja ke dalam analnya. Merasa kurang
sreg, aku menggulingkan tubuhnya hingga tengkurap dan penisku masuk
seluruhnya hingga ia mendongakkan kepala dengan jeritan kuat,
“Gus …. ohhhhh … pelan-pelan, oohhh …. ssshhhh …. sssaaakiiittt….”
“Tenang say, ntar lagi juga bakal enak kau rasakan ….” hiburku sambil
menarik penisku dan memasukkannya lagi dengan gerakan yang lebih lambat.
Benar saja, bukannya merasa sakit, perlahan-lahan Mbak Ina merasakan
nikmat yang tak terhingga saat penisku kembali masuk keluar analnya,
apalagi jari-jari tanganku turut merogoh vaginanya dari depan merangsang
klitoris dan labianya yang membanjir dengan cairan kenikmatan.
“Sssrrrt…. crrett … ssrrrt … crrrtt,” terdengar suara yang aneh saat
penisku melesak maju mundur dalam analnya.
“Sssshhh …. aaahhh ….. ekkk …… sssshhh…… ooooougggghhhhh…..” lenguhnya
berusaha menahan agar tidak cepat-cepat orgasme. Tapi ia tak kuasa
menahan lebih lama lagi, pantatnya yang menjepit penisku dalam analnya
bergetar hebat hingga kurasa penisku tak dapat kutarik mundur maju lagi,
terjepit dengan ketatnya dalam analnya; dan dengan suatu sentakan luar
biasa, ia merapatkan bongkah pantatnya dengan telak ke arah penisku.
“Ooouwww …………… sshhhh ….. aaaaahhhhhkkk …. aku dapat Gussss….!”
teriaknya kuat hingga aku sendiri terkejut mendengar jeritan birahinya.
“Crot …. crrooootttt … crrooootttt …” penisku tak mampu lagi kutahan,
dengan hebat menyemprotkan air mani dalam analnya. “Ahhhhhhh….
akkkkuuuuu …. keluar Mbbbbaakkkkk!” desahku sambil menghunjamkan
dalam-dalam penis ke dalam bongkahan pantatnya yang sangat merangsang.
Masih menindih tubuhnya yang menelungkup dari atas, aku mulai meredakan
napas dan mengatur detak jantungku yang begitu kencang, dan berguling ke
sampingnya dengan tetap memeluk pinggulnya hingga terlentang dengan
tubuhnya kini berada di atasku.
“Gus, Gus, kamu tidak berat ditindih badanku begini?” tanya Mbak Ina.
“Hmmm, nggak apa-apa, Mbak. Apalagi ada kompensasinya koq, penisku
masih menikmati kuluman analmu,” jawabku.
“Iihhhhh jorok …., nyebut-nyebut anal,” katanya.
“Biarin jorok, yang penting nikmat, Mbak ….” aku menimpali ucapannya,
“Kalau begini terus tiap malam di Singapura ini, wah … rasanya seperti berbulan madu dong Mbak?”
“Enak aja kamu Gus! Kita kemari kan buat kerja,” tandasnya mengingatkan
maksud kami datang ke Singapura. “Ini kan selingan buat menumpahkan
rindu sejak pulang dari Yogya,” tambahnya.
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. “Iya deh Mbak. Tugas tetap tugas, tapi pacaran juga jalan terus kan?” gurauku.
Ia tertawa kecil dan sambil menggulingkan tubuhnya ke sampingku ia
bertanya, “Kamu senang ikut tugas kantor denganku, Gus?” Belum sempat
kujawab pertanyaannya, ia berkata lagi, “Aku yang mendesak pimpinan agar
kamu ditaruh pada bagianku dan menjadi asistenku. Tadinya ada manajer
lain yang memintamu ke bagiannya, tapi berkat argumentasiku dan didukung
oleh evaluasi dari bagian personalia, kamu disetujui pindah ke
tempatku.”
“Aku sempat kaget, Mbak. Koq tiba-tiba ditawari posisi baru padahal
masih ada beban kerja di bagianku yang harus kuselesaikan tahun ini,”
kataku. “Rupanya Mbak Ina yang menjadi dalang di balik semua ini?”
“Jadi kamu nggak suka atas ulahku memindahkanmu?” desisnya sambil memandangku tajam. “Wah, keluar galaknya,” pikirku.
“Ouww, jangan salah sangka, Mbak. Aku justru sangat senang dan berterima
kasih mendapat promosi. Cuma tidak menduga sebelumnya bahwa Mbak turut
berperan atas hal ini,” kataku sambil mencium bibirnya lembut. Ia
membalas ciumanku dan mengulum serta mengisap lidahku.
Kami kemudian tidur sambil berpelukan di bawah berselimut. Kira-kira
sejam kemudian aku tersentak mendengar dering telepon. Ingin kuraih,
tapi khawatir itu untuknya, maka kuguncang-guncangkan bahunya agar
menerima telepon tersebut.
“Hallo, I am Mrs. Ina,” katanya menjawab nada panggilan di seberang sana.
Aku memeluk tubuhnya yang telanjang dari belakang dan kudekatkan
telingaku ke telinganya, lalu kudengar suara dari seberang sana. Rupanya
dari Direktur Utama kami.
“Bagaimana perjalanan kalian? Apakah semuanya berjalan baik?”
“Yes, oh … ya .. ya, Pak, kami baik-baik saja. Perjalanan kami lancar
dan kami sudah berada di hotel untuk mempersiapkan diri pada pertemuan
besok,” jawabnya.
“Saya berkali-kali menelepon ke kamar Agus, tapi tidak diangkat. Apakah ia keluar hotel?”
“Celaka, rupanya The Big Boss mencari jejakku,” pikirku.
“Tadi begitu tiba di hotel, ia minta ijin tidak mau diganggu, Pak.
Katanya semalam ia tidur larut malam karena mempersiapkan presentasi
kami untuk pertemuan besok. Mungkin ia sedang bermimpi indah di
kamarnya, Pak,” jawabnya berbohong. Gila benar, cepat sekali si Cantik
ini memberi argumentasi yang membuat atasan kami senang.
“Baiklah, jika demikian, silakan beristirahat agar penampilan kalian
besok benar-benar prima. Sampaikan salam saya kepada Agus. Sukses ya!”
kembali suara Direktur Utama kami terdengar.
“Ok Pak, saya sampaikan salam Bapak nanti dan doakan kami agar tidak
mengecewakan Bapak dan perusahaan. Salam kami kembali buat Bapak,”
katanya menutup pembicaraan dan meletakkan gagang telepon.
Masih memeluk pinggangnya dari belakang, bibirku menghembuskan napas di
belakang telinganya hingga ia kegelian lalu lidahku menjilati lehernya
yang jenjang hingga turun ke kuduknya. Di situ kubuat kecupan agak kuat
hingga ia mendesah-desah. Apalagi sewaktu bahunya kuciumi dan kujilati
dengan lembut. Ia mengerang dan desahannya seperti orang kepedasan
karena makan cabai. Ciuman dan jilatanku semakin turun ke punggung,
pinggang dan pinggulnya. Ia semakin menjadi-jadi meliuk-liukkan
tubuhnya. Kudengar suaranya sambil mendesah,
“Gus, apakah kamu pernah melakukan seperti ini dengan perempuan lain selain isterimu dan aku?”
“Mbak, Mbak, mana berani aku berbuat begini. Dengan Mbak aja hanya
karena “gayung bersambut” maka aku mau. Aku takut kena penyakit kelamin,
Mbak,” jawabku.
“Jadi kamu jujur nih tidak pernah begini dengan yang lain?” desaknya,
“Soalnya aku tak mau kalau suatu waktu kena penyakit karena tertular
darimu yang pernah main dengan perempuan lain. Apalagi kita cuma bisa
main anal, karena aku tak mau kau coblos vaginaku.”
“Jujur Mbak,” kataku. Memang aku tak pernah berpikir jajan atau berbuat
begini dengan yang lain, bahkan ada beberapa gadis di kantor yang pernah
menggodaku atau menaksirku baik terang-terangan maupun secara
diam-diam, tidak pernah kugubris. “Aku cuma setia padamu dan istriku,
Mbak Ina sayang,” rayuku.
“Aku perlu kejujuranmu agar tiada sesal diantara kita kelak,” ungkapnya.
“Biar saja Tuhan Sendiri yang menyaksikan kebinalan kita, tetapi rumah
tangga kita tetap kita pelihara,” katanya lagi.
Aku terdiam dan menghentikan elusan tangan dan permainan bibir dan lidahku sambil merenungkan kata-katanya barusan.
“Lho, koq jadi diam? Tersinggung dengan kata-kataku barusan ya?” ia
bertanya sambil menoleh ke belakang hingga hidungnya menyentuh pipi dan
hidungku. “Terusin dong …” rajuknya sambil tangannya meraih tanganku
yang memeluk pinggangnya agar naik meraba payudaranya kembali.
“Aku terharu aja Mbak,” kataku. “Mbak tidak menuntut apa-apa dariku
selain kebersihan diri seperti itu, walaupun aku sadari dosaku menggoda
Mbak.”
“Sssttt, jangan bicara begitu. Tidak ada yang salah. Bukan kau yang
menggodaku, justru aku yang harus tahu diri dan tidak menggodamu,”
bantahnya. “Tak perlu menyesali semua yang sudah-sudah. Yang penting
kita berdua pandai-pandai membawa diri agar hanya kitalah yang tahu dan
Tuhan bahwa kita saling menyayangi dan ingin berbagi kasih. Itupun tidak
tiap kali kita melakukan hal begini. Paling-paling saat keluar kota
atau keluar negeri seperti sekarang. Yang kuminta padamu Agus sayang,
adalah jangan keterusan bersetubuh denganku lewat vaginaku, agar
setidak-tidaknya masih ada bagian yang tersisa pada tubuhku yang hanya
boleh dimiliki dan dinikmati oleh suamiku.”
“Ya Mbak. Aku memang tergoda melihat vaginamu dan payudaramu serta
seluruh organ tubuhmu yang sangat menawan. Bahkan waktu di Yogya aku
sangat berhasrat memasukkan penisku ke dalam vaginamu. Untungnya aku
masih sadar dan menahan diri. Entah nanti. Tapi kuharap jangan
segan-segan menamparku apabila aku tak dapat menguasai diri, mana tahu
Mbak kupaksa dan kuperkosa suatu waktu,” pintaku.
“Justru itu Gus. Aku tak ingin ada kekasaran diantara kita. Biarlah kita
menikmati kasih ini dengan cara kita sendiri tanpa harus menggunakan
yang satu itu. Aku rela jika kau minta terus-terusan memasukkan penismu
di mulutku atau analku, tapi ke vaginaku kuharap tidak kau lakukan,
kecuali jika hanya bagian kepala hingga leher penismu saja masuk ke
vaginaku. Bagaimana Gus, kau mau berjanji padaku?” tuntutnya sambil
melingkarkan kedua tangannya ke leherku.
“Aku tidak mau berjanji, Mbak, sebab janji adalah hutang. Tapi aku akan
selalu berusaha untuk menahan diri agar tidak mengecewakan dirimu Mbak.
Mudah-mudahan hubungan aneh kita ini tidak membuat kita saling menyakiti
kelak dan tidak ada yang akan dipermalukan diantara kita berdua. Semoga
hubungan gelap kita ini hanya Tuhan dan kita berdua yang tahu dan
biarlah Dia memaafkan kita atas perbuatan kita ini. Sebab aku tulus
mengasihi Mbak dan tidak ingin merusak kepercayaan yang sudah Mbak
tanamkan padaku,” tekadku.
Mbak Ina memelukku erat-erat dan mengecup leherku. Agak lama ia berbuat
demikian hingga kurasakan ada aliran air hangat membasahi leherku turun
ke dadaku. “Mungkin ia menangis,” pikirku. Benar saja, kemudian ia
melepaskan wajahnya dari leher dan dadaku. Kupandang matanya berair dan
sebagian membasahi pipinya. “Mengapa Mbak menangis?” aku bertanya lugu.
“Aku terharu, Gus. Masih ada pria sebaik dirimu yang mengasihiku dengan
tulus, tidak menuntut yang bukan-bukan. Andaikan dengan lelaki lain,
barangkali sudah sejak di Yogya aku tak punya muka lagi melihat dunia
karena melakukan persetubuhan dengan pria yang bukan suamiku. Mana ada
buaya menolak bangkai, bukan? Pasti ajakanku menemani sekamar saja sudah
diartikan untuk melakukan hubungan badan, iya nggak?” katanya.
“Aku senang karena mencintai perempuan sebaik Mbak Ina,” kataku.
“Memang sukar untuk tidak melakukan persetubuhan apalagi jika melihat
wanita secantik Mbak. Aku justru karena sungguh-sungguh menyayangi Mbak
sejak awal masuk perusahaan, sehingga tidak pernah berpikiran merusak
diri Mbak.” lanjutku.
“Ok sayang, sekarang … mumpung masih ada waktu tersedia sebelum kita
bekerja besok, mari kita reguk kenikmatan kembali,” ajaknya sambil
menghujani dadaku dengan ciuman-ciuman yang menggairahkan. Putingku
dilumat oleh lidahnya dan bibirnya mengecup kedua putingku bergantian
hingga kulihat ada cupang berwarna kemerah-merahan bekas kecupan
bibirnya. Birahiku kembali membuncah mendapat perlakuan demikian.
Kubalas dengan menaruh kedua pahanya di atas pahaku dan memeluk dirinya
erat-erat sambil meremas-remas kedua buah dadanya. Kembali ia mengerang
dan mendesah-desah. Vaginanya bergerak-gerak di bagian bawah penisku
seakan-akan meminta diterobos oleh batang kenikmatanku. Diarahkannya
penisku menguakkan rambut-rambut kemaluannya. Tetapi aku sadar akan
percakapan kami tadi dan tidak berusaha memasukkan penisku ke dalam
vaginanya yang semakin lembab. Ia berbisik di telingaku, “Gus, masukkan
penismu dikit ya, atur agar cuma sampai leher penismu masuk dalam
vaginaku. Soalnya aku terangsang banget. Biar klitoris dan labiaku
nikmati tusukan kepala penismu ya sayang?” pintanya. Kuturuti
permintaannya dan menekan lembut ke liang vaginanya, tapi jari-jari
tangan kananku kupakai menggenggam penisku, sehingga batangnya dapat
kukendalikan tidak masuk dan hanya kepala hingga leher penisku yang
menekan-nekan rambut kemaluannya.
Dengan sedikit geliat, ia berhasil membuat kepala penisku tepat berada
di depan klitorisnya yang semakin tegang. Sekonyong-konyong ia
merebahkan badannya terlentang di bawahku dengan kedua belah pahanya
masih ditumpangkan di atas pahaku dan menggerakkan pahanya ke arah
tubuhku sehingga kepala penisku menancap telak di mulut vaginanya.
Untunglah aku tetap menggenggam batang penis hingga ke pangkalnya hingga
tidak terbawa masuk akibat gerakannya yang tiba-tiba.
“Ayo Gus, aaahhhh …. ssshhh ….ayo … sayangggg…. gerakkan kepala penismu
menggesek-gesek klitoris dan permukaan vegy-ku,” erangnya.
Dengan setengah berlutut, kugerakkan pantatku maju mundur agar kepala
penisku benar-benar memberikan gesekan nikmat bagi klitoris dan labianya
yang semakin basah.
“Ahhhh … ssshhhh ….. ooooohhhh ….. ooouuuwwww ….. yang cepat Gus … lebih
cepat lagi sayanggggg ….. aaahhhhhhhhhh …” desisnya sambil melemparkan
kepalanya ke kanan kiri dan ke atas hingga rambutnya semakin
awut-awutan, tapi justru menambah kecantikannya sebab wajahnya semakin
merah merona dan kedua tangannya terus meremas-remas puting dan
payudaranya karena tanganku kupakai meremas-remas kedua belah pantatnya
dan mengelus-elus pahanya.
Gerakan kepala penisku sekarang kupusatkan pada bagian klitorisnya
dengan cara memutar hingga membuatnya semakin menggeliat-geliat sambil
merintih sambil meraih kenikmatan. Kemudian kubuat variasi gerakan
dengan mengulas-ulas labianya menggunakan kepala penisku hingga bibir
bawahnya semakin terbuka memperlihatkan warna merah dengan cairan-cairan
putih bening yang keluar dari lipatan-lipatan dalam vaginanya.
Tiba-tiba pantatnya diangkat tinggi hingga kulepaskan penisku dan kedua
belah pahanya menjepit leherku kuat-kuat, denyut-denyut di vaginanya
semakin kencang dan dengan jari-jariku kuterobos liang kenikmatannya
dalam-dalam sambil mengisap kuat-kuat klitorisnya. Dengan jari telunjuk
kanan, kuterobos vaginanya mencari-cari letak G-spotnya. Agak ke atas di
belakang klitorisnya kutemukan suatu titik lembut yang ketika kutekan
membuatnya makin merintih-rintih nikmat. Sedangkan telunjuk tangan
kiriku pelan-pelan merambat ke dalam analnya hingga ia semakin
menggelinjang-gelinjang.
Saat gerakannya semakin liar, kumasukkan lagi dua jariku bersama-sama
telunjuk masuk membenam ke dalam vaginanya dan kurasakan bagaimana
lorong vaginanya meremas-remas ketiga jariku dengan kuatnya dan dengan
dorongan yang luar biasa ia menyemprotkan cairan vaginanya hingga
muncrat ke wajahku. “Guuuuusssss …..” hanya itu kata-kata yang dapat ia
lantunkan di puncak orgasmenya. Dengan cepat kubenamkan wajahku, bibirku
dan lidahku menjilati cairannya yang kini bukan hanya di seputar
vaginanya, tapi juga mengenai rambut dan dadaku bahkan sebagian mengenai
sprei. Luar biasa banyaknya. Rasanya gurih, sedikit asin, dan aku terus
dengan keasyikanku menjilati semua cairannya.
“Oohhhh ….. Agus sayangggg ….. enak … nikmat sekali sayang, aaaakhhhh.
Kau apakan vaginaku sampai begitu banyak menyemprotkan maniku?” erangnya
sambil mengelus-elus kepala dan rambutku. “Begitu lama aku kawin dengan
suamiku, tetapi baru sekali ini kurasakan semprotan vaginaku yang luar
biasa,” katanya lagi.
“Sayang …. apa kau tidak tahu? Itu kan G-spot-mu yang kutekan tadi
bersama-sama klitoris dan liang vaginamu,” jawabku sambil mencium
bibirnya.
“Ehh … ya … aku sendiri walaupun sudah menikah lebih dari sepuluh tahun,
rasanya masih banyak yang harus kupelajari tentang seks,” gumamnya.
“Anehnya, aku malah bisa begitu nikmat kamu puasi, padahal suamiku
termasuk orang yang rutin berhubungan badan, tetapi pemahamannya tentang
tubuh wanita sepertinya kalah dari kamu,” lanjutnya.
Sampai sore hari kami masih bermain dua kali dan setelah makan malam,
kami kembali bergulat di kamarnya sampai pukul sembilan. Untunglah kami
ingat harus beristirahat agar tampil bugar pada pertemuan besok.
Selama mengikuti pertemuan dengan rekanan, kami berdua memperlihatkan
sikap biasa-biasa di depan orang lain, tidak terkesan bahwa kami punya
hubungan intim. Namun malam harinya, seperti hari pertama di Singapura,
aku rutin menemani Mbak Ina di kamarnya. Tentu saja bukan sekadar tidur,
tetapi setidaknya bermain cinta secara unik dengannya paling sedikit
dua kali; bahkan pernah kami melakukan sampai ia mencapai orgasme
sebanyak 5 kali dan aku sebanyak 3 kali.
Malam terakhir kami di Singapura benar-benar kami habiskan berdua di
kamarnya. Begitu usai makan malam dengan Mr. Chow, salah seorang manager
pada perusahaan rekanan kami, dengan dalih akan beristirahat, Mbak Ina
sudah pamit lebih dulu meninggalkanku bersama rekanan kami yang masih
mengajakku ngobrol. Aku sudah ingin cepat-cepat pergi, apalagi sudah
sepuluh sms Mbak Ina masuk, minta aku segera datang, tapi karena tak
enak hati pada rekanan kami, aku cuma membalas singkat, “Masih ada yang
dibicarakan, sabar sayang!” Tepat pukul 9 malam, barulah aku pamit
dengan dalih sudah mengantuk dan membuat gerakan menguap beberapa kali.
Kusms Mbak Ina, “Tuan Putri, hamba segera datang ke peraduanmu.”
Sesampai di kamar, kuangkat gagang telepon untuk berbicara dengan
Direktur Utama melaporkan kegiatan kami. “Semua beres, Pak. Laporan
selengkapnya secara tertulis akan Ibu Ina dan saya selesaikan agar dapat
Bapak terima sesegera mungkin,” janjiku. Pimpinan kami menjawab dengan
nada puas, “Baiklah, saya percaya akan kinerja kalian. Silakan
beristirahat karena kalian tentu sudah sangat lelah beberapa hari ini.
Bila perlu tak perlu cepat-cepat pulang besok agar dapat sehari lagi
berjalan-jalan di Sinagapura. Mengenai hal ini, sudah saya pesankan tadi
kepada Ibu Ina, sehingga tak perlu kuatir akan adanya tambahan biaya,
semua akan ditanggung oleh perusahaan. Ok, sampai jumpa.” Aku senang
sekali mendengar ucapan Direktur Utama kami itu. “Wah, kalau Mbak Ina
setuju, berarti besok kami dapat seharian mereguk anggur kenikmatan di
atas ranjangnya,” pikirku.
Setelah itu, kuputar nomor telepon rumahku. Begitu diangkat, kudengar
suara istriku, “Hallo, selamat malam! Mau bicara dengan siapa?”
Kukatakan pada istriku, “Mama sayang, bagaimana kabarmu?” Jawabnya, “Oh
Papa ya? Aku baik-baik saja, tapi sudah rindu banget. Jadi pulang besok,
Pa? tanyanya.
“Itulah yang mau kukatakan. Aku belum tahu bagaimana Bu Ina selaku
pimpinanku. Tadi Boss kami katakan agar kami menambah waktu untuk
melakukan beberapa hal lain mumpung masih di Singapura, sehingga kami
tak dapat pulang besok, paling cepat lusa. Mudah-mudahan Bu Ina
memperbolehkan aku pulang duluan, abis udah kangen pada Mama sih! Tapi
jika tidak diijinkan, Mama sabar aja ya nunggu Papa pulang lusa,” kataku
dengan nada merayu. Sebetulnya tak enak juga berbohong seperti itu
padanya, tapi karena adanya peluang diberi Pimpinan, kucoba gunakan.
“Ahhh, Papa jahat deh! Jadi besok belum bisa melepas rindu dong?” rajuk istriku manja.
“Jangan marahin Papa dong, Mama sayang … kan Papa hanya bawahan yang
harus tunduk pada atasan. Apalagi Papa sudah bilang bahwa tugas kali ini
berkaitan dengan promosi jabatan Papa sepulang ke Jakarta nanti. Kalau
sudah balik ke Jakarta, Mama minta berapa ronde pun kulayani deh …”
kucoba meyakinkan dengan melontarkan jurus-jurus rayuan maut.
“Kalau begitu, Papa harus belikan Mama oleh-oleh yang bagus …. dan
jangan lupa, kangen Mama harus dirapel beberapa ronde yaaaa???” kembali
suara manja istriku terdengar.
“Baik, Papa akan carikan souvenir indah buat Mama, tapi janji jangan
musuhin Papa dan jangan buat Papa lecet-lecet waktu melepas rindu nanti
ya?” jawabku. “Ok Mama, selamat malam, selamat tidur ya. Kiss bye,”
sambungku menutup percakapan kami.
“Cup … cup … met malam. Salam kangen banget ya Pa!” desah istriku.
Baru saja kuletakkan gagang telepon, tiba-tiba telepon itu berdering.
“Kriiingg … krrrinngg … krrinnggg ….” Kuangkat telepon, dan benar
dugaanku, Mbak Ina. Pasti ia sedang uring-uringan. “Koq lama banget sih.
Sibuk terus teleponmu! Apa kamu punya pacar baru ya?” semprotnya.
“Maaf Mbak, tadi abis bicara dengan Mr. Chow, aku telepon Boss kita di Jakarta melaporkan pertemuan kita.”
“Ngapain kamu mesti telepon Pimpinan kita, kan tadi sore kamu dengar sendiri aku bicara per telepon dengannya?” katanya ketus.
“Jangan marah gitu dong, Mbak? Aku kan juga mau tambahkan percakapan
informal kami dengan Mr. Chow tadi sekaligus memberitahu beliau bahwa
laporan pertemuan kita akan sesegera mungkin saya siapkan.”
“Ohh gitu, abis teleponmu sibuk terus sih, padahal sms-mu tadi bilang
mau langsung ke kamarku? gerutunya sambil melanjutkan dengan nada yang
sudah semakin datar, “Nah, tadi beliau katakan agar kita tidak buru-buru
pulang. Jika ada yang masih perlu dipelajari dari rekanan kita di luar
pertemuan formal beberapa hari ini, kita dapat menambah waktu sehari
lagi di sini. Bagaimana, kamu tidak keberatan?”
“Ah, aku sih bagaimana Mbak aja. Apalagi tokh tiap malam Mbak selalu
memberikan service khusus buatku?” candaku demi mendengar suaranya sudah
mulai mendatar.
“Tapi bagaimana dengan istrimu, apa tidak curiga jika kita nambah waktu
di sini?” tanyanya menyelidik. “Kalau aku sih, sudah langsung kutelepon
suamiku tadi memberitahu kemungkinan pulang masih lusa dari sini.”
“Beres, Mbak. Tadi istriku sudah kubilangin kalau masih ada tugas kita, sehingga belum bisa pulang besok,” jawabku.
“Gila lu, tugas apa tugas nih?” oloknya sambil tertawa kecil. “Udah
buruan, aku sudah kedinginan sendirian di kamarku. Jangan pake mandi
lagi, cepat ya! Kutunggu dalam sepuluh detik,” ancamnya menggoda.
“Ha … ha … ha … jangankan sepuluh detik, Mbak. Sekarang pun aku sudah di
kamarmu karena masuk lewat saluran telepon …” balasku sambil meletakkan
telepon dan bergegas ke kamarnya.
Sesaat kemudian aku sudah di depan kamarnya. Waktu kuketuk pintunya,
ternyata pintunya sedikit terbuka, “Masuk Gus!” Aku mengomelinya, “Gila,
koq pintumu tidak dikunci sih Mbak? Nggak takut ada orang lain masuk?”
Kulihat lampu kamarnya remang-remang dan ia berbaring di ranjang dengan
selimut menutupi tubuhnya, sementara pesawat televisi di kamarnya
menyajikan film dewasa semi porno. Batinku, “Wah, udah ngeres rupanya
dia nonton film beginian?”
“Ah ngapain takut? Tokh cuma kamu yang tahu kalau pintu itu agak
terbuka. Dari tadi ada yang lewat kudengar tapi mana berani masuk?”
tangkisnya.
“Aku mandi dulu ya Mbak, gerah banget nich seharian duduk, sore tadi
cuma mandi koboi,” kucoba bercanda melihat reaksinya terhadap ucapanku.
“Ehhh …. belum pernah lihat televisi dilempar ke wajahmu, ya? Kan udah
kubilang tadi tak usah pake mandi. Alasan aja, padahal mau godain aku…
Sini, naik ke dekatku!” serunya dengan nada memerintah.
Kulepaskan baju dan celana panjangku dan kusampirkan di gantungan baju
di lemarinya. Dengan hanya mengenakan celana dalam dan kaos singlet,
kudekati dia dan membuka selimut masuk ke baliknya berbaring di
dekatnya. Sekilas kulihat ia hanya mengenakan baju tidur tipis tanpa
mengenakan BH, entah celana dalamnya karena selimutnya tidak kubuka
lebar.Belum sempat rebah dengan baik, ia sudah memelukku dan melumat
bibirku dengan buas. Tangannya meraih kepalaku dan bahuku, hingga aku
tak bisa mengelak dari ciuman-ciuman mautnya. Lidahnya disusupkan masuk
ke dalam mulutku membelit lidahku dan mengait-ngait rongga mulutku
sambil bibirnya menutup penuh-penuh mulutku. Buah dadanya yang padat
begitu liat dengan putingnya yang kulihat sudah tegang, menekan dadaku
hingga birahiku naik dengan cepat.
“Sebentar Gus, kamu jangan melawan, ikuti saja kemauanku …” paksanya
tiba-tiba sambil menyeret tubuhku ke pinggir ranjangnya, sementara
selimut yang kami pakai sudah terlempar ke bawah ranjang. Ditariknya
kedua kakiku hingga berjuntai ke lantai dan pantatku tepat di tepi
ranjangnya, sementara di bawah kepalaku ia letakkan sebuah bantal. Lalu
dengan cepat ia menempatkan diri berjongkok di antara kedua pahaku dan
mengelus-elus rambut kemaluanku. Bibirnya mulai ia gunakan menciumi
lututku, naik ke pahaku dan kedua testisku. Lidahnya mulai menjulur
membasahi pori-pori tubuhku seolah-olah tidak mau menyisakan se-inci pun
luput dari lumatan bibir dan tusukan lidahnya yang menimbulkan seribu
satu sensasi. Aku mulai mengerang mendapat pelayanan yang begitu
memuaskan.
“Ekhhhh… sshhh …. ahhh … Mbakkkk …. nik .. mat … Ougghh .. sayaangggg….”
Kembali kusaksikan bukan seorang Ibu Ina yang sangat disegani di
lingkungan kerja, tetapi yang ada kini hanyalah seorang wanita yang
benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan untuk memenuhi kodratnya
sebagai seorang wanita terhadap kekasihnya.
Perlahan-lahan lidahnya menjilati batang penisku dan melakukan gerakan
memutar sambil menggunakan sebelah tangannya memegangi pangkal
kemaluanku dan tangannya yang lain mengelus-elus testisku yang
menjadikanku menggeliat-geliat. Di bagian leher penisku, lidahnya
bermain dengan lincah melakukan manuver keliling dan “Oouuuwww …!” aku
menjerit ketika ujung lidahnya mengulas-ulas lubang penisku dan
memasukkan kepala penis ke dalam rongga mulutnya sambil terus menerus
melakukan gerakan simultan dengan kedua tangannya.
Aku semakin terengah-engah manakala ia memasukkan seluruh penisku hingga
pangkalnya masuk ke mulutnya. Kurasakan bagaimana ujung penisku
menyentuh kerongkongannya, aku tidak tahu apakah itu amandelnya, tapi
yang jelas ada benda yang lunak di sana memberikan rangsangan yang luar
biasa bagi kepala penisku. Sambil menelan seluruh penisku dalam-dalam,
lidahnya tetap menjilati batang penis dan kepala penisku, hingga aku
terbeliak karena menahan nikmat yang tak terkatakan. Aksinya belum
berhenti, tangan kanannya menggenggam batang penisku dan melakukan
kocokan-kocokan maut sambil terus mulutnya melakukan gerakan memasukkan
dan mengeluarkan kepala penisku semakin cepat dan semakin cepat. Tangan
kirinya kembali meremas-remas, kini sasarannya adalah kedua belah pahaku
dan entah kapan cairan ludahnya ia ambil dari mulutnya, kurasakan jari
telunjuk kirinya mulai melakukan eksplorasi ke liang analku. Mula-mula
masih di permukaan analku ia oleskan ludahnya, tetapi kemudian ia mulai
memasukkan sedikit demi sedikit jarinya ke dalam analku. Lonjakan
pantatku semakin hebat, bahkan hingga bergetar merasakan rangsangan yang
dahsyat hingga tanpa kusadari kedua bongkah pantatku kuangkat hingga
penisku semakin kutekankan ke mulutnya. Jarinya yang masuk ke analku pun
masuk semakin dalam bahkan sampai seluruhnya dan kurasakan ia melakukan
gerakan memutar di dalam analku, bahkan kadang-kadang ujung jarinya
mengait-ngait bagian dalam analku hingga kurasakan betapa denyutan
analku semakin kencang menjepit jarinya. “Penyiksaannya” pada penis,
kedua testis dan analku membuatku semakin horny, hingga kurasa tak lama
lagi akan mencapai klimaks. Gerakannya semakin cepat demi melihat
reaksiku yang sudah seperti cacing kepanasan, menggeliat-geliat sambil
merintih. Dengan suatu erangan nikmat, aku memuntahkan cairan hangat ke
mulutnya.
“Akkkhhh … Ak … kuuu keluar Mbakk sayangg?” Kurasakan betapa kuatnya
desakan maniku menyemprot dalam rongga mulutnya yang ia sambut dengan
penuh perasaan. Kuamati wajahnya, ia sedang terpejam sambil menikmati
air maniku dengan pipi yang kempot karena kuatnya mengisap penisku.
Lidahnya terus merangsang lubang penisku yang masih menyemprotkan mani.
“Ohhh … hebat … jepitan analmu sungguh hebat Gus!” pujinya sambil
menjilati air maniku yang menetes di bibirnya, sementara jarinya pada
analku masih ia hunjamkan sedalam-dalamnya.
Denyut jantungku yang memacu dengan kencang dan napasku yang
terengah-engah tidak membuatku surut. “Sekarang rasakan pembalasanku,”
pikirku sambil menegakkan tubuh berdiri di tepi ranjangnya dan dengan
gerakan yang tak ia duga, mendorongnya jatuh ke ranjang lalu menarik
kedua kakinya ke tepi ranjang persis seperti yang ia lakukan bagiku.
“Lho, ada apa Gus? Pelan-pelan dong?” katanya terkejut.
“Emang cuma Mbak yang bisa bikin begitu? Giliranku sekarang, ayo … nikmati aja say!”
Kulucuti gaun tidurnya dan ternyata memang tidak ada lagi apa-apa di
baliknya, hingga kini kami berdua sudah dalam keadaan telanjang tanpa
selembar benang pun melekat di tubuh masing-masing. Kuciumi mulutnya dan
kugelitik rongga mulutnya dengan memasukkan lidahku dalam-dalam ke
mulutnya, lalu ciuman dan jilatanku turun ke lehernya yang jenjang terus
ke payudaranya. Putingnya kulumat sambil mengisap buah dadanya sebanyak
yang dapat kutelan dalam rongga mulutku sambil jari-jariku
meremas-remas payudaranya yang sebelah lagi. Bergantian kulakukan
seperti itu hingga ia semakin merintih.
“Gusss…. ohhh….nikmat … ahhh… terus … ya gitu say…. ooohhhh …. teruskan remas susuku ….” desahnya.
Usai menggeluti kedua buah dada dan kedua putingnya yang sudah tegang
mencuat ke atas, kutelusuri perutnya, pinggang dan pinggulnya dengan
bibir dan lidahku. Ia memejamkan mata sambil terus merintih hingga suara
rintihannya terdengar begitu memilukan, tapi aku tahu, ia tidak
kesakitan melainkan karena merasakan nikmat yang semakin memuncak.
Lidahku semakin liar menjilati seputar kemaluannya dengan memulainya
pada bagian labianya yang sudah basah. Rambut kemaluannya kuraba dengan
jari-jariku sambil mencari-cari klitorisnya. Begitu kutemukan
klitorisnya, lidahku dengan ganasnya melakukan isapan dan jilatan yang
membuatnya semakin liar menggelinjang. Kedua tangannya meremas-remas
rambutku bahkan sesekali menarik rambutku karena gemas. Jari-jari tangan
kananku menekan-nekan labianya dan telunjukku kumasukkan ke liang
vaginanya hingga membuatnya terhenyak kaget dan mengangkat kedua belah
pantatnya tinggi. Kukuakkan kedua labianya lebar-lebar ke kiri kanan dan
lidahku terhunjam dengan gerakan buas memasuki vaginanya. Kukait-kait
klitoris dan vaginanya sambil jari-jariku melakukan eksplorasi lebih
lanjut mencari G-spotnya. Tak sulit lagi mencarinya karena pengalaman
beberapa malam yang lalu. Aksiku menggumuli klitoris, G-spotnya, labia
liang vaginanya kurasa belum cukup, sehingga jari tengah tangan kiriku
kumasukkan ke analnya setelah kuolesi cairan vaginanya yang semakin
membanjir.
“Oooohhhh Gus… sayyyangggg!” teriaknya dengan mata terbelalak, tapi aku
tahu ia tidak marah karena itu adalah ungkapan kenikmatan.
“Sabar Mbak sayang, bentar lagi kuantar ke gerbang kenikmatan ….” ujarku sambil meneruskan aksiku.
“Aguuuusssss ….. sayangggkuuu .. ooohhhh,” jeritnya.
Dengan suatu geraman tinggi, ia menghentakkan pantatnya tinggi-tinggi
dan begitu kurasakan bahwa ia akan orgasme kutekan wajahku dalam-dalam
ke vaginanya sambil terus mengocok vagina dan analnya dengan
jari-jariku. “Croott.. crooot … crooot …” cairan hangat terasa membasahi
wajahku dan sempat kutarik wajahku hingga kulihat betapa kuatnya
semprotan cairan kenikmatannya bahkan kupikir melebihi semprotan penisku
saat orgasme. Begitu ia rasakan kutarik wajahku dari vaginanya, kedua
tangannya menekan belakang kepalaku kuat-kuat hingga kembali terbenam ke
vaginanya yang merekah. Maka sibuklah aku menyedot dan menjilati cairan
vaginanya hingga kurasa mulutku penuh dengan cairan gurih. Jariku di
analnya masih merasanya denyutan-denyutan hebat, begitu pula jariku di
vaginanya masih terjepit dan kurasakan remasan-remasan otot-otot
vaginanya menjepit jariku.
“Ahhh… aku capek Gus… kita istirahat dulu ya sayang?” katanya sambil memelas.
Kuangkat tubuhnya ke atas dan kutempatkan diriku berbaring di sampingnya
sambil saling berciuman meredakan gelora nikmat yang menguasai dirinya
dan diriku. Kini kami berdua bagaikan dua bayi raksasa yang tergolek
siap untuk saling berbagai kepuasan.
Jari-jari kami saling meremas dan kaki kami membelit satu sama lain. Tak
berapa lama kulihat matanya terpejam. “Ah, biarlah ia tidur dulu,
kasihan jika kupaksa untuk main tanpa jeda,” pikirku. Aku pun
memicingkan mata dan mencoba tidur sambil merenung mengapa kami bisa
begitu binal.
Jelang tengah malam, aku terbangun karena Mbak Ina bangkit menuju kamar
mandi. Kudengar suara air gemercik mengisi bathtub. Karena penasaran
menunggunya tidak balik ke ranjang, aku bangun dan berjalan ke kamar
mandi, kubuka pelan pintu yang tidak ia tutup. Kulihat Mbak Ina sedang
berendam sambil menutup mata dalam bathtub yang sudah mulai berisi air.
Melihat sebagian tubuhnya berendam demikian, birahiku kembali
menggelegak, aku masuk ke dalam kamar mandi dan kudekati dia. “Oh kamu
udah bangun, Gus? Mau mandi air hangat bareng denganku?” ajaknya. “Iya
Mbak, biar fresh untuk sesi berikutnya,” jawabku sambil masuk ke
bathtub. “Uihhh, makin kelihatan kalau kamu sebetulnya mata keranjang,”
katanya sambil mencipratiku dengan air. Kami mandi berdua, saling
meremas, saling menggosok dan menyabuni satu sama lain. Usai
mengeringkan badan, dengan bertelanjang kami berdua kembali ke ranjang.
Kami duduk bersisian dengan saling peluk dan cium sambil menonton film
dewasa yang belum juga usai. Kami sama-sama melihat sepasang pria dan
wanita yang telanjang dalam posisi sedang duduk berpelukan melakukan
hubungan badan. Tidak terlihat penis si pria masuk keluar kemaluan si
wanita, tetapi gerakan-gerakan tubuh mereka di mana si wanita dalam pose
menduduki kemaluan si wanita mengesankan bahwa mereka sedang mendaki
puncak kenikmatan. Tiba-tiba si pria mengangkat si wanita, sambil
berdiri di lantai, si pria menggendong si wanita dengan menahan kedua
pantatnya sedang kedua paha si wanita memeluk erat-erat pinggang si
pria. Posisi ini yang disebut sebagai monyet menggendong anaknya.
Kuperhatikan dengan ekor mataku mata Mbak Ina memandangi adegan itu
dengan tajam dan kurasakan jari-jarinya tidak lagi meremas tanganku
tetapi berpindah ke pangkal pahaku dan mulai membelai penisku yang mulai
bangkit kembali sejak kami mandi berdua. Elusan jari-jarinya membuat
gairahku semakin naik kembali.
“Gus, enak banget kali gaya begitu ya?” desahnya di telingaku. “Udah pernah nyoba dengan istrimu?” tanyanya.
“Belum Mbak.”
“Ehmmm, enak mungkin ya? Tapi gimana ya?” desahnya sambil melirik aku.
“Tapi gimana ya? Aku justru maunya gini aja denganmu, penismu tidak sampai penetrasi ke vaginaku kayak gitu?”
“Nggak apa-apa Mbak, kita tetap main anal seperti biasanya, cuma dengan
posisi begitu, bagaimana?” kataku menantang, sambil menarik tangannya
turun dari ranjang.
Sambil tersenyum dengan wajah tak mengerti akan ajakanku, ia bertanya,
“Ada apa sih Gus? Koq pake turun ranjang segala?”
Aku tidak menjawab, tapi kuatur tubuhnya berdiri sambil membungkuk,
bertopang kedua tangannya ke kursi di depan TV, kemudian kutempatkan
diriku persis di belakang tubuhnya dan mulai mengusap-usap lubang
analnya. Kuambil ludahku dan kuoleskan di mulut analnya sambil tanganku
yang lain merabai payudaranya di depan. Ia mulai mendesah geli campur
nikmat,
“Sssshhhh, ohhh … kau kuat banget sih Gus? Udah minta lagi?”
Kepala penisku mulai mengambil posisi tepat di mulut analnya dan dengan
perlahan-lahan kudorong masuk ke analnya. “Sstt… eeekhhh …. pe..lan Gus,
jangan kuat-kuat, ehhh … shhh …” katanya sambil sebelah tangannya
mencoba menahan laju pantatku agar tidak maju mundur dengan cepat.
“Tenang aja, Mbak. Aku takkan menyakitimu. Nikmati saja, sayang …”
gumamku pelan sambil terus memaju-mundurkan pantatku hingga penisku
masuk lebih dalam ke dalam analnya.
Nafsunya kembali naik seiring dengan gerakan penisku yang semakin intens
ke dalam analnya dan kedua tanganku tidak tinggal diam, kadang-kadang
meremas kedua belah pantatnya, juga bergantian menjangkau vagina dan
klitorisnya serta payudaranya. Desahannya mulai berganti dengan rintihan
yang semakin kuat.
“Sshhhh …. aakkkhhh … enakkkkhhh … Gus …. Ahhhh sayang …. terus …
teruusssss …. ooukhhhh ….” geliat tubuhnya semakin menggairahkan apalagi
sesekali kurapatkan tubuhku ke punggungnya dan menjilati kuduknya
bahkan menggigit pelan-pelan. Bibir dan lidahku bermain juga di pundak,
sela-sela ketiaknya dan turun ke lengan atasnya.
Saat rintihannya semakin kuat, penisku kuhentikan tepat menghunjam
sedalam-dalamnya ke analnya dan kuhentikan gerakanku untuk melihat
reaksinya.
“Oukhhh …. ada apa Gus? Koq kamu diam sih? Sengaja mau menyiksaku ya? tanyanya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, tiba-tiba kuletakkan kedua tanganku di
bawah pahanya dan kutopang dengan kedua tanganku, lalu dengan kekuatan
tanganku kunaik-turunkan pahanya, sehingga bunyi analnya menelan penisku
semakin sedap kedengaran, “Slepp …. sleepp … sslep …” Ia
mengerang-erang kenikmatan. “Guuussss ….” hanya itu suaranya. Kulihat
kedua tangannya meremas-remas payudaranya menambah rasa nikmat yang ia
terima akibat permainan penisku. “Ssshhh …. ahhh … aku hampir dapat
Gus!” rintihnya semakin kuat.
“Sabar Mbak, ntar bareng dengan aku,” bujukku sambil merebahkannya
terlentang di tempat tidur. Wajahnya nampak kesal karena tiba-tiba
kucabut penisku dari analnya. “Ada apa lagi sih Gus? Koq dicabut,
padahal aku hampir klimaks?” gerutunya sambil cemberut.
“Kita ganti posisi, biar Mbak lebih santai,” kataku sambil berlutut di
dekat pahanya dan mengangkat paha kanannya ke atas paha kiriku. Kuambil
ludahku dan kuoleskan lagi di mulut analnya kemudian penisku kuarahkan
kembali ke analnya masuk keluar.
“Ahhh… kau pinter banget bikin variasi. Shhh … ohhhgg … terusss Gus …
aduh nikmatnya …” erangnya sambil menggeliat-geliatkan pantatnya.
Kuayunkan pantatku mendorong penis masuk keluar analnya. Dengan kaki
kanannya di atas paha kiriku, ia berbaring agak miring sehingga dengan
bebas tangan kananku dapat merabai klitoris dan vaginanya.
“Ssshhh … nikmattt Gus, te..rus … ohhh … lebih cepat lagi Gus?”
“Yang mana yang lebih cepat, Mbak? Tanganku di analmu atau yang di vegy-mu nich?” godaku sambil mempercepat ayunan pantatku.
“Semuanya enak Gus, aduh … kau suka banget sih bikin aku keqi? …. shhh …. akkkhh” rintihnya.
Jari-jari tangan kananku semakin cepat menggesek-gesek labianya dan
ketika kuraba klitorisnya yang sudah begitu tegang, kubuat jepitan kecil
dengan jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian kedua jari tersebut
kumasukkan ke liang vaginanya sambil jempol kananku mengelus-elus
klitorisnya.
“Auhhhh … enakkkhhhh … Guuussss ….” rintihannya makin meninggi.
“Akkkhuu hampir keluarrr …. oookhhhh ….”
“Sekalian denganku Mbak, ssshhhh … akkkhhh … aku juga udah mau keluar ….
Bareng Mbak …. aaakkhhh …” desahku sambil mempercepat genjotan penisku
pada analnya dan jari-jari tangan kanan pada kemaluannya sedangkan
tangan kiri meremas-remas payudara dengan putingnya yang amat tegang.
Dengan suatu hentakan kuhempaskan dalam-dalam penis ke dalam analnya,
paha kanannya melilit erat pinggangku, kurasakan denyutan luar biasa
pada analnya juga liang vaginanya yang mpot-mpotan meremas-remas jari
telunjuk dan tengah tangan kananku. Pantatnya dengan kuat
menggelinjang-gelinjang hingga membuat penisku semakin erat dikulum oleh
liang analnya.
“Ggguuuuuussss! rintihannya berubah menjadi teriakan yang kuat di ruang kamar itu.
“Mbaaakkk sayangggg …” sambutku sambil terus menggoyang-goyangkan pantat
menikmati orgasme yang bersamaan tiba. Kurasakan penisku menyemprotkan
air mani kuat-kuat ke dalam analnya. Setelah beberapa saat, kutarik
penisku dan kulihat cairan putih bening menetes turun ke pahanya.
Kami berdua berbaring miring sambil berpelukan dan berciuman. Bibirku
dikulumnya dengan sangat erat, bahkan sempat digigitnya lidahku saking
gemasnya. Setelah orgasme kami berdua mereda, kami berbaring sambil
bergenggaman tangan dan tertidur dalam keadaan telanjang.
“Kita tidur dulu ya sayang, besok masih bisa kita lanjutkan. Masih ada
waktu sehari penuh buat kita,” katanya sambil memicingkan mata.
“Iya Mbak, yuk tidur sayang! Met malam ya!” ujarku sambil mencium bibirnya.
Keesokan harinya masih kami isi dengan berbagai gaya permainan ranjang
meskipun tetap tanpa melakukan penetrasi ke dalam vaginanya. Tenaga kami
benar-benar terkuras, karena ingat di Jakarta tak mungkin kami berbuat
demikian.
Itulah pengalamanku dengan Mbak Ina yang cantik dan penuh gairah. Hingga
kini kami berdua masih tetap tidur bersama jika kebetulan bertugas
keluar kota atau keluar negeri hanya berdua, paling tidak 4-8 kali kami
memperoleh tugas luar semacam itu. Uniknya, hingga kini kami hanya
bermain anal, tetapi kenikmatan yang kami rasakan tak ubahnya seperti
permainan seks biasa. Lucunya lagi, akibat permainanku, Mbak Ina mulai
coba-coba minta suaminya pun main di analnya, tetapi ia mengakui
style-ku selalu lebih hot daripada suaminya. Rahasia kami berdua tetap
tersimpan erat dan tidak pernah ada orang di perusahaan yang tahu
hubungan kami, karena di kantor kami tetap berbuat sebagaimana wajarnya
karyawan biasa. Orang hanya tahu ia sebagai atasanku dan aku sebagai
asistennya selalu berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan pimpinan.
Mereka tidak pernah tahu, bahwa keberhasilan itu juga sangat didukung
oleh hubungan mesra di antara kami.